Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.(An-Nuur:43)

------------

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?(Al-Anbiyaa:30)

------------

Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.(Thaahaa:53)

------------

Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.( An-Nahl : 79)

------------

Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (Al-Munafiqun:4)

------------

Jumat, 26 Agustus 2011

Minal Aidin Walfaidzin

Ketika lisan tak terjaga, ketika janji terlupakan, ketika sikap tidak berkenan, ketika ku fikir yg bukan2, tercipta sesal, luka n salah padamu.

Di hari nan fitri n penuh kemenangan ini,Aku mohon ma'af atas segala salah dan khilafku padamu.

Selamat hari raya idul fitri 1 Syawal 1432 H minal aidzin walfaidzin mohon ma'af lahir dan Batin


Kamis, 25 Agustus 2011

Lebaran

Hari ini adalah minggu terakhir bulan Ramadhan, Lebaran sudah didepan mata, kubayangkan suara gema takbir menggema yang bisa terdengar sampai ke seantero negeri. Suara takbir yg merdu yang terlantun indah, begitu menggetarkan dada setiap manusia yang beriman. Harusnya lebaran adalah waktu yang membahagiakan bagi seluruh umat islam.

Seharusnya lebaran adalah hari kebahagiaan. Setelah satu bulan penuh menunaikan ibadah puasa, akhirnya tiba jua hari kemenangan yang dinantikan. Semua orang bersuka cita. Saling mengunjungi, saling bermaafan, saling berucap selamat dan saling mendoakan. Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Allah menerima segala amal ibadah kita. Menyambung silaturrahim dengan sanak saudara, tetangga dan teman-teman. Dengan pakaian baru dan kue-kue lezat terhidang di meja.

Aku teringat bagaimana aku dengan setengah memaksa meminta kepada ayah untuk membelikan baju baru kepada ayahku, "Pak.. aku mau baju baru ya Lebaran ini" ucapku kepada ayah, karena lebaran ini adalah tahun ke tiga aku rayakan tanpa mengenakan baju baru.

Sebenarnya bapak, sungguh menyayangi kami sekeluarga, bapak giat mencari nafkah agar aku bisa bersekolah, tapi mungkin aku yang tidak tau bersyukur dan banyak menuntut kepada bapak untuk bisa membelikan aku dan adiku baju baru pada Idul Fitri ini, sebuah keinginan wajar untuk orang yang berpunya, tapi bagiku dan adiku itu adalah sebuah imajinasi yang terlalu mewah, ayah selalu beralasan ini ulah pemerintah yang seenaknya sendiri, jadi kami yang menanggung bebannya.

Aku yang masih belum mengerti urusan politik atau urusan negara yang njelimet hanya menyimpan kepedihan karena ayah belum mampu membelikan aku dan adikku pakaian baru, aku dan adik berusaha selalu bersabar dan menerima, apa pun yang diberikan Allah kepada kami.

Aku hanya selalu berdoa, dan memohon kepada Allah sesuai nasihat Ayah "Iman seorang mukmin akan tampak di saat ia menghadapi ujian. Di saat ia totalitas dalam berdoa tapi ia belum melihat pengaruh apapun dari doanya. Ketika, ia tetap tidak merubah keinginan dan harapannya, meski sebab-sebab untuk putus asa semakin kuat. Itu semua dilakukan seseorang karena keyakinannya bahwa hanya Allah saja yang paling tahu apa yang lebih maslahat untuk dirinya. Ia yakin bahwa dengan ujian itu, Allah ingin melihat tingkatan kesabaran dan keimanannya. Ia yakin bahwa dengan keadaan itu, Allah swt menghendaki hatinya menjadi luruh dan pasrah kepada-Nya. Atau, boleh jadi melalui ujian itu, Allah menghendaki dirinya untuk lebih banyak lagi berdoa sehingga ia lebih dekat lagi dengan-Nya melalui doa-doanya."

Tiba-tiba kepedihan di dada ku semakin memuncak, dan air mata ini tidak bisa diajak kompromi mengalir pada kedua pipiku, karena aku ingin sekali memiliki baju baru pada lebaran ini, Aku pun terlena pada kenangan lalu, di mana ayah masih jaya sebagai buruh pada suatu pabrik plastik. Dulu setiap lebaran rumah kami meriah, banyak makanan, baju baru dan lainnya. Hal itu hanya membawa kepedihan dan penyesalan yang dalam.

"Ayah mau kemana?" tanyaku kepada ayah, "Mau narik cari rejeki." jawab ayah singkat, "Yah jangan lupa ya aku di beliin baju baru" ungkapku, ayah hanya menjawab dengan anggukan pelan. Aku tertegun. Anggukan ayah membuatku merasa bersalah. Ya Gusti Allah... ampuni aku yang selalu menyusahkan Ayah.

Sore itu ayah pulang dengan muka sumringah, "Yanto..." panggil ayah kepadaku, "Ada apa yah" tanyaku kepada ayah. Ini nak, alhamdulillah ayah dapat rezeki nak, kamu bisa beli baju lebaran" kata ayah sambil menyodorkan uang 300.000, "Ini dari mana yah uangnya" tanya aku kepada ayah. "Tadi becak ayah di sewa orang untuk pindahan, alhamdulillah orang itu baik dan memberi ayah lebih nak" begitu lah carita ayah, dan aku pun bisa tersenyum sumringah, karena baju yang kuimpikan bisa aku beli

Keseokan harinya kami sekeluarga naik becak ayah pergi ke pasar, hal ini adalah hal yang sangat indah, walau kami tidak mempunyai mobil seperti orang kaya, naik becak sekeluarga adalah hal yang jarang terjadi, tapi kali ini ayah mengantar kami ke pasar untuk membelikan aku dan adikku sebuah baju baru.

Adikku memilih baju atas bawah dengan motif senada. Cocok sekali untuk dia yang masih duduk di bangku SD. Kebanyakan anak-anak seusia adikku memang lebih suka memakai baju stelan. Ibuku langsung menanyakan harga baju yang kami pilih. Agak lama aku menunggu ibuku tawar-menawar harga dengan pemilik toko. Tapi untungnya ibu berhasil membeli baju itu dengan harga yang lumayan terjangkau. Aku sangat bahagia.

"Ibu tidak sekalian membeli baju baru?" tanyaku pada ibu. "Baju baru tidak penting bagi ibu, Yang penting hati kita diperbarui lagi untuk dapat lebih dekat dengan-Nya. Melihat kamu dan adikmu senang itu sudah cukup bagi ibu," ibu menjawab lirih, sambil menasihatiku. Ayah tadi tidak mengantar kami belanja, ayah bilang dia mau narik becak dulu, nanti pulangnya d tunggu di pangkalan becak tempat ayah mangkal di pasar itu.

Setelah berputar-putar di pasar agak lama untuk menemukan baju serta berbelanja keperluan untuk menyambut lebaran, aku, adik dan ibu menuju pangkalan beca tempat ayah biasa mangkal, kulihat ayah belum tiba di sana, kami pun menunggu dengan sabar, " Bu itu ayah" ucapku sambil melihat kesebrang jalan, dan kulambaikan tangan memanggil ayah.

"Ayah..." ucapku sambil setengah berteriak, ayah dengan wajah yang riang, berusaha mengayuh becaknya dengan kencang, seakan tidak sabar menjemput kami, "Tin...............Brak..." sebuah truk pengangkut pasir menabrak ayah. Seketika tubuh ayah ambruk ke tanah. Penuh darah bercucuran. Adikku menangis kencang. Orang-orang sekitar berlarian menuju tempat kejadian. Mereka semua mengerumuni ayah.

Dan ayah dibawa ke rumah sakit, oleh sopir truk itu, aku, ibu dan adikku menunggui aku di rumah sakit itu, Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar... La ilaha illallah wallahu akbar... Allahu akbar walillahilhamd... Suara takbir dan tahmid mengiringi hari itu yang bertepatan dengan malam takbiran.

Akupun berdoa kepada Allah "Ya Allah ya Tuhanku, tolong jangan kau ambil ayahku tercinta, aku sayang kepadanya, tiada orang yang paling baik sedunia selain Ayah". Dan dokter rumah sakit itu menghampiri ibu, "Bu, kondisi bapak alhamdulillah tidak apa-apa, hanya tangan kanannya patah, mungkin besok pun sudah bisa pulang" jelas dokter kepada ibu.

Esoknya ketika lebaran tiba aku dan adiku menjenguk ayah di rumah sakit, baju yang baru yang niatnya kupakai untuk bersilahturahmi kepada saudara dan tetangga, kupakai untuk membawa ayah pulang. Di depan ayah aku mencium tangan, dan bersyukur kepada Allah bahwa lebaran ini aku masih diberi kesempatan bersama ayah ku yang tercinta. "Ayah aku tidak terlalu butuh baju baru, aku bersyukur ayah masih ada di sisi kami". Dan ku lihat ayah tersenyum haru. Kesehatan dan keberadaan Ayah adalah hadiah Idul Fitri ku dari Allah yang paling berharga. Dan akupun berdoa memanjat syukur yang tak terkira.

"Ya Tuhanku, berilah aku kekuatan untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi, serta memasukkan aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. Kasihilah kami wahai Yang Maha Penyayang diantara para penyayang." Amiin.

Firman Allah SWT (QS. Al Baqarah:152) :

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Senin, 22 Agustus 2011

Syaitan menyesatkan

Dalam sebuah hadis ada menceritakan tentang dua orang saudara, seorang darinya kuat beribadat kepada Allah sedangkan seorang lagi selalu berbuat maksiat dan kejahatan.

             Pada suatu hari saudara yang kuat beramal ibadat kepada Allah telah bercita-cita untuk melihat Iblis di tempat ibadatnya. Suatu hari ketika dia sedang duduk bersendirian maka datanglah syaitan kepadanya dengan berkata: “Sayang sekali engkau, engkau telah menghabiskan dan mensia-siakan empat puluh tahun umurmu kerana itu rasakan keindahan dunia dan jamulah kehendak dan keinginan engkau. Kemudian kembalilah engkau bertaubat serta membuat ibadat kepada Allah pula. Jadi tiadalah engkau merugi dalam dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Penyayang.”   

            Mendengar kata-kata iblis yang lembut itu maka hati dan pendiriannya telah berubah, katanya: “Benar juga kata-kata syaitan itu, aku telah merugikan diriku sendiri beberapa lama. Baiklah aku turun ke bawah mendapatkan saudaraku supaya  aku dapat bersama-samanya memuaskan nafsu keinginan dan keduniaan selama dua puluh tahun, kemudian aku akan bertaubat dan kembali beribadat kepada Allah di dalam umurku yang dua puluh tahun lagi itu.”

            Selepas dari itu dia pun turun ke bawah dengan niat untuk melakukan kejahatan dan kemaksiatan kepada Allah. Dalam pada itu saudaranya yang seorang lagi (Pendurhaka) yang selalu di dalam kancah kemaksiatan dan kejahatan itu mula menyedari kesilapan yang telah dilalukannya. Pada suatu hari dia mendapati dirinya di dalam seburuk-buruk keadaan. Dilihatnya badannya serta pakaiannya telah kotor berlumuran dengan najis serta terlantar pula di atas debu tanah. Sewaktu dia sadar itu, maka berkatalah hatinya: “Oh… sia-sianya. Oh.. ruginya aku. Sudah habis umurku di dalam dunia maksiat, aku telah merosakkan diri sendiri serta bodoh, sedangkan saudaraku itu sedang beribadat kepada Allah dan akan memperolehi syurga Allah. Tetapi aku.. nerakalah tempat tinggalku. Demi Allah, aku bertaubat aku akan naik ke atas bersama saudaraku untuk mengerjakan ibadat dan berbakti kepada Allah. Semoga Allah akan mengampuni segala dosanya.”

            Maka diapun naiklah ke atas dengan niat untuk bertaubat sedangkan saudaranya itu pula turun dengan niat untuk melakukan kerja-kerja maksiat dan kerja-kerja yang dimurkai Allah. Tiba-tiba sewaktu dia hendak turun maka dia tergelincir kakinya lalu jatuh ke atas adiknya . Akhirnya keduanya mati di situ juga.

            Di hari akhirat nanti kedua saudara itu akan dibangkitkan menurut niatnya. Yaitu yang ahli ibadah akan di bangkitkan atas niat maksiat sedamgkan adiknya  akan di bangkitkan atas niat berbakti kepada Allah sebagaimana sabda Nabi saw : “Akan di bangkitkan tiap-tiap hamba menurut keadaan matinya.” (Baik atau Buruk).

            Di samping itu anggaplah syaitan itu sebagai musuh selama-lamanya sebagaimana firman Allah  : “Sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagi kamu.”

            Semua orang tahu syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kita semua, tetapi adakah semua orang tahu bahawa hari ini paling ramai orang-orang mengikuti langkah-langkah syaitan.

            Hari ini syaitan merajalela dengan berbagai kegiatan maksiatnya, diantaranya syaitan telah mempunyai ahlinya yang paling banyak kalau dibandingkan dengan orang-orang Islam hari ini. Tempat-tempat judi, kelab-kelab malam, dan lain sebagainya.

Minggu, 21 Agustus 2011

Cara mengembangkan otak kanan

Pernahkah kita (bahkan sering) tidak percaya diri bahwa kita KREATIF? Itu hanyalah anggapan yang justru menenggelamkan kepercayaan diri kita untuk bertindak kreatif! Berpikir dan bertindak kreatif adalah suatu upaya untuk menggunakan otak kanan (hemispher otak sebelah kanan) secara lebih aktif. Selama ini, kebanyakan orang hanya menggunakan otak kiri-nya yang berkaitan dengan bahasa, logika, dan simbol simbol dan diarahkan pada pemikiran linear dan vertical (dari satu kesimpulan logis ke kesimpulan logis lainnya).

 Secara lebih seimbang, otak kanan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi emosi, intuitif, dan spasial serta bekerja berdasarkan kaleidoskop dan berpikir lateral (mempertimbangkan masalah dari semua sisi dan sampai pada hal yang berbeda) merupakan bagian otak yang berperan penting dalam kreatifitas.

 Otak kanan akan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang tidak konvensional, tidak sistematis, dan tidak terstruktur. Hal ini tidak berarti hasil pemikiran otak kanan merupakan sesuatu yang sembarangan, namun hasil pemikiran otak kanan berkaitan dengan sesuatu yang baru, yang tidak biasa, dan berbeda dari apa yang ada sebelumnya.
 Berikut 8 cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan otak kanan:

 1. Selalu bertanya; “Apakah ada cara lain..??” “Dengan begitu, otak kita dipacu untuk mencari alternative-alternatif terbaik!”

2. Menentang kebiasaan, rutinitas, dan tradisi. “nih dia gan,, wajar aja seorang entrepreneur pasti punya latar belakang yang tidak biasa dan menentang tradisi!”

 3. Memainkan permainan – permainan mental, berusaha melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Ayo gan main rubik! Ngelatih otak n emosi banget tuh!”

 4. Menyadari bahwa ada lebih dari 1 jawaban yang benar. “Ini gak boleh dilakukan bagi anak SMA yang sedang ujian pilihan ganda! Karena hanya; PILIHLAH SATU JAWABAN YANG BENAR!”

5. Melihat masalah sebagai batu loncatan untuk menemukan ide-ide baru. “Kalau dapet masalahnya terlalu banayak dan berat, berarti sedang di Uji sama yang DI ATAS! Mending segera tobat n banyak berdo’a deh.. hehe”

6. Melihat kesalahan dan kegagalan sebagai sarana untuk memperoleh keberhasilan. “Jangan dikit – dikit ngeluuuuuuuuh aja kerjaanya! Gak guna!”

7. Menghubungkan ide-ide yang tidak berhubungan untuk menemukan solusi yang baru dan inovatif. “Jangankan menghubungkan ide, ber-ide aja susah.. yang ada juga copas ide!”

 8. Memiliki “keteramplian helicopter” yaitu melihat dari atas dan menyeluruh terhadap berbagai hal rutin yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian mengambil keputusan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi.

Rabu, 17 Agustus 2011

Wanita pemerah susu dan anak gadisnya

Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah.

Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi,

selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah

banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya.

Setelah beberapa saat berkeliling,
sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur.

Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.

“Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi,” keluh wanita itu kepada anaknya.

Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, “Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita
mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi.”

“Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi.

Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?”

“Jangan, Bu!” gadis itu melarang. “Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang.

Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit.

Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar.

Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati.”

Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.

“Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!” kata janda itu kepada anaknya.

“Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?”

Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata,

“Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang.

Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah.”

Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu.

Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang.

Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.

Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya.

Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.

Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.



Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Rabu, 10 Agustus 2011

Beriman kepada para Rosul

I.Definisi Nabi Dan Rasul

Menurut bahasa, nabi berasal dari kata “ نَبَّأَ وَأَنْبَأَ ” yang berarti
“ أَخْبَرَ ” (mengabarkan). Jadi nabi adalah yang memberitakan dari
Allah dan ia diberi kabar dari sisiNya. Atau juga berasal dari kata
“ نَبَا ” yang berarti “ عَلاَ وَارْتَفَعَ ” (tinggi dan naik). Maka nabi adalah makhluk yang termulia dan tertinggi derajat atau kedudukannya.

Sedangkan menurut istilah, nabi ialah seorang laki-laki yang di-beri kabar (wahyu) oleh Allah berupa syari’at yang dahulu (sebelum-nya), ia mengajarkan kepada orang-orang di sekitarnya dari umatnya (penganut syariat ini).

Adapun rasul secara bahasa ialah orang yang mengikuti berita-berita orang yang mengutusnya; diambil dari ungkapan جَاءَتْ اْلإِبِلُ رَسَلاً (unta itu datang secara beriringan). Rasul adalah nama bagi risalah atau bagi yang diutus. Sedangkan irsal adalah pengarahan.

Menurut istilah, rasul ialah seorang laki-laki merdeka yang diberi wahyu oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan membawa syariat dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya, baik orang yang tidak ia kenal maupun yang memusuhinya.

Perbedaan Antara Nabi dan Rasul

a. Kenabian (nubuwah) adalah syarat kerasulan (risalah). Maka tidak bisa menjadi rasul orang yang bukan nabi. Kenabian lebih umum dari kerasulan. Setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap nabi adalah rasul.

b. Rasul membawa risalah kepada orang (kamu) yang tidak mengerti tentang agama dan syariat Allah ; atau kepada kaum yang telah mengubah syariat dan agama, untuk mengajari mereka atau mengem-balikan mereka ke dalam syariat Allah. Dia adalah hakim bagi me-reka. Sedangkan nabi diutus dengan dakwah kepada syariat nabi/rasul sebelumnya.

II. NUBUWAH ADALAH ANUGERAH ILAHI

Kenabian bukanlah suatu tujuan yang dapat diraih dengan cara-cara tertentu, sehingga bisa dicapai oleh orang yang bersungguh-sung-guh, juga bukanlah pangkat yang dapat ditempuh melalui perjuangan. Akan tetapi ia adalah kedudukan yang tinggi dan pangkat istimewa yang diberikan Allah Subhannahu wa Ta'ala karena karunianya kepada siapa saja dari makhlukNya yang Dia kehendaki. Maka Dia mempersiapkannya agar mampu memikulnya. Dia menjaganya dari pengaruh setan dan meme-liharanya dari kemusyrikan karena rahmat dan kasih sayangNya semata, tanpa ada upaya yang ia kerahkan untuk mendapatkan dan untuk mencapai derajat kenabian itu. Bahkan ia hanyalah karunia Allah Subhannahu wa Ta'ala dan nikmat Ilahi semata, sebagaimana firman Allah:
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.” (Maryam: 58).

Allah berkata kepada Musa Alaihissalam :
“Allah berfirman, ‘Hai Musa, sesungguhnya aku memilih (mele-bihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu, sebab itu ber-pegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hen-daklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Al-A’raf: 144).
Allah menceritakan ucapan Ya’kub kepada anaknya, Yusuf Alaihissalam , dengan firmanNya:
“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) …” (Yusuf: 6).

Sebagaimana halnya Allah mengingkari orang yang memandang bahwa salah satu dari dua orang besar di Makkah dan Tha’if, yaitu Al-Walid Ibnul Mughirah dan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi, lebih berhak (pantas) untuk menjadi nabi. Hal itu terjadi ketika Allah mewahyukan kepada nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan menjelaskan bahwa Dia adalah Rabb, Penguasa yang berhak melakukan apa saja serta yang mengurusi pembagian rizki bagi semua makhlukNya.
Jadi sangatlah tidak benar manakala ada seseorang yang ikut campur tangan dalam menentukan siapa yang berhak menerima rahmat kenabian dan kerasulan. Maka Allah bercerita tentang mereka:
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Tha’if) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,…” (Az-Zukhruf: 31-32).

Allah telah mengancam orang-orang yang melampaui batas yang mengatakan: “Tidaklah kami beriman sebelum diberi seperti apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul Allah”, dengan firmanNya:

“Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul
Allah’. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Al-An’am: 124).

Dalam ayat-ayat terdahulu terdapat petunjuk yang jelas bahwa kenabian itu tidak bisa diperoleh karena kebangsawanan atau karena jerih payahnya, akan tetapi ia adalah nikmat dari Allah serta rahmat yang dianugerahkan kepada sebagian makhlukNya berdasarkan ilmu dan hikmahNya dan tidak diberikan kepada orang yang mencari atau yang mengharapkannya.

III. Sifat-Sifat Dan Mu’jizat Rasul

Pertama: Sifat-sifat Para Rasul
Dari definisi terdahulu kita mengetahui bahwa rasul adalah seorang manusia. Laki-laki dan merdeka yang Allah memilihnya dari nasab pilihan. Dia menjadikannya orang yang paling sempurna akalnya, pa-ling suci jiwanya dan paling utama penciptaannya, supaya menunaikan pekerjaan-pekerjaan besar di antaranya menerima wahyu, menta’ati-nya, menyampaikannya serta memimpin umat.

Maka para rasul Shalallaahu alaihi wasalam adalah panutan dalam hal sifat dan akhlak mereka. Dan pembicaraan tentang sifat-sifat mereka panjang sekali, tetapi diantaranya yang terpenting adalah:

a. Shidq (jujur dan benar)
Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahukan tentang para rasulNya:
“Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kami! Siapakah yang mem-bangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijan-jikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasulNya.” (Yasin: 52).

Sebagaimana Dia telah menyifati sebagian mereka dengan sifat itu; tentang Nabi Ibrahim Alaihissalam . Dia berfirman:
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.” (Maryam: 41).

Tentang Ismail Alaihissalam . Allah berfirman:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (Maryam: 54).

Tentang Idris Alaihissalam . Dia berfirman:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah se-orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (Maryam: 56).

Tentang nabi kita Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, Dia berfirman:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membe-narkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33).

Tidaklah diragukan bahwa sifat shidq adalah inti risalah dakwah; dengannya akan luruslah segala urusan dan berbuahlah amal perbuatan. Sedangkan kadzib (bohong, dusta) adalah sifat kekurangan yang musta-hil bagi manusia pilihan dan merupakan maksiat yang justru mereka peringatkan.

b. Sabar
Allah Subhannahu wa Ta'ala mengutus para rasulNya kepada manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak mereka untuk taat kepada Allah serta memperingatkan agar tidak mendurhakaiNya. Ini adalah tugas berat dan sulit, tidak semua orang mampu memikulnya, akan tetapi orang-orang pilihanlah yang pantas dan mampu untuk itu. Karenanya para rasul Allah Subhannahu wa Ta'ala menemui bermacam-macam kesulitan dan beranekaragam gangguan, tetapi mereka tidak patah semangat karenanya, juga hal itu tidak membuat mereka melangkah surut ke belakang.

Allah telah mengisahkan kepada kita sebagian dari nabi-nabiNya, sekaligus berbagai rintangan yang menghadangnya di jalan dakwah, juga sikap sabar mereka untuk memenangkan yang hak dan meninggikan kalimat Allah. Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam untuk bersabar, sebagai bentuk peneladanan kepada para Ulul Azmi. Allah berfirman:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Al-Ahqaf: 35).

Tentu kita mendapat pelajaran dengan apa yang dikisahkan Allah tentang Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa Alaihissalam , dengan umatnya yang menentang dan mengganggu, namun demikian mereka tetap bersabar, teguh dan tegar sampai Allah menurunkan putusanNya.

Demikian pula dengan perjalanan hidup penutup para nabi yakni Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, di dalamnya terdapat teladan agung dalam hal kesa-baran dan ketabahan. Kaumnya telah mendustakan, menghina, meng-ganggu dan mengisolirnya, tetapi beliau bersabar menghadapinya sampai Allah memenangkan agamaNya. Mengenai rincian kisah-kisah tersebut sangatlah panjang, tidak cukup dalam buku yang hanya bebe-rapa halaman dan di dalam Al-Qur’an hal itu juga telah dikisahkan.

Kedua: Mu’jizat Para Rasul Shalallaahu alaihi wasalam

Allah menciptakan manusia dan membekalinya dengan akal. Akal inilah yang menjadi syarat taklif. Karena akal ini manusia akan dihisab amalnya, dengan akal ini ia bisa membedakan barang-barang dan me-misahkan antara yang berguna dengan yang berbahaya. Jika datang seseorang yang mengatakan, ia adalah seorang rasul (utusan) Allah, guna memberi hidayah kepada manusia serta memimpin mereka menuju ke-damaian dan kebahagiaan dunia dan akhirat, maka hal ini berarti menyangkut keselamatan bagi manusia atau justeru kehancurannya. Karena itu setiap orang wajib melihat kondisi da’i, dan dakwahnya.

Allah telah mengistimewakan para rasul dari segenap makhluk bia-sa. Allah menjaganya dari tipu muslihat setan. Setan tidak bisa mengubah fitrah mereka. Maka mereka berbeda dengan kaum dan umatnya, karena sirah (perjalanan) hidup mereka yang harum dan fitrah mereka yang bersih.

Apabila hal itu digabungkan dengan ajaran mereka, maka akan menjadi bukti kuat tentang kebenaran mereka bagi orang-orang yang Allah telah menyinari mata hatinya. Allah telah mendukung mereka -sebagai tambahan atas hal tersebut- dengan sesuatu yang memaksa akal untuk mempercayainya. Maka para rasul itu datang dengan membawa mu’jizat-mu’jizatnya yang hebat; tidak mampu mendatangkannya kecuali Allah Subhannahu wa Ta'ala , karena seluruh makhluk adalah milikNya, Dialah yang mentaqdirkan sesuatu menurut takaranNya, Dia menjadikan setiap makhluk berjalan sesuai dengan aturan-aturan tertentu yang tidak seorang pun dapat mengubahnya. Jika Allah Subhannahu wa Ta'ala hendak mendukung seorang hamba sebagai bukti atas kenabiannya, maka Allah menganuge-rahkan padanya sesuatu yang tidak mungkin bisa melakukannya secara sempurna kecuali Allah Subhannahu wa Ta'ala , baik berupa ilmu, kekuatan atau kecukupan. Allah Subhannahu wa Ta'ala , Dialah yang mengetahui segalanya, berkuasa atas segalanya dan Dia Mahakaya, tidak membutuhkan kepada alam semesta.

Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan Rasul Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam agar berlepas diri dari mendakwahkan tiga hal:
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbenda-haraan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku se-orang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An’am: 50).

Apabila terjadi melalui tangan seorang rasul sesuatu dari hal tersebut di atas maka ia adalah semata-mata perbuatan Allah, karena ia di luar kemampuan manusia. Maka ia adalah bukti nyata, manakala digabungkan dengan ihwal rasul tersebut dengan rasul-rasul sebelum-nya berikut dakwahnya. Maka wajib atas umatnya mengimani serta mengikutinya. Jika tidak maka wajiblah adzab Allah atas mereka. Tanda-tanda dan bukti-bukti kebenaran mereka sudah jelas; ada bukti yang utama dan ada yang menjadi penguat bagi bukti utama atas kebenarannya, serta memperkokoh keimanan orang-orang mukmin terhadapnya.

Mu’jizat rasul didefinisikan sebagai segala sesuatu yang luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi Allah dan rasulNya dalam bentuk sesuatu yang membuat manusia tidak bisa mendatangkan semisal-nya.

Melalui tangan para nabi dan rasul telah terjadi mu’jizat-mu’jizat yang memaksa akal sehat untuk tunduk dan mempercayai apa yang di-bawa oleh para rasul, baik itu karena diminta oleh kaumnya maupun tidak. Mu’jizat-mu’jizat tersebut tidak lepas dari bentuk:

a. Ilmu, seperti pemberitahuan tentang hal-hal ghaib yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi; umpamanya pengabaran Nabi Isa Alaihissalam kepada kaumnya tentang apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka. Sebagaimana juga penga-baran Nabi Muhammad  tentang fitnah-fitnah atau tanda-tanda hari Kiamat yang bakal terjadi, sebagaimana yang banyak dijelaskan dalam hadits-hadits.

b. Kemampuan dan kekuatan, seperti mengubah tongkat menjadi ular besar, yakni mu’jizat Nabi Musa Alaihissalam yang diutus kepada Fir’aun dan kaumnya. Kemudian penyembuhan penyakit buta, kulit belang-belang putih (sopak) serta menghidupkan orang-orang yang sudah mati, yang kesemuanya adalah mu’jizat Nabi Isa Alaihissalam. Juga terbelahnya rembulan menjadi dua yang merupakan salah satu tanda kebenaran Rasul kita Shalallaahu alaihi wasalam .

c. Kecukupan, misalnya perlindungan bagi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dari orang-orang yang menginginkan kejahatan kepadanya. Hal ini sering terjadi, ketika di Makkah sewaktu malam hijrah, ketika di dalam gua, lalu dalam perjalanan ke Madinah ketika bertemu dengan Suraqah bin Malik, lalu di Madinah ketika orang-orang Yahudi ingin men-culiknya dll. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Allah mencukupi RasulNya dengan perlindungan, sehingga tidak membutuhkan lagi kepada perlindungan makhluk lain.

IV. Beriman Kepada Segenap Rasul

Beriman kepada segenap rasul artinya membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala mengutus seorang rasul pada setiap umat untuk mengajak mereka beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukanNya dan untuk kufur kepada sesembahan selainNya. Serta kepercayaan bahwa semua rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk serta menunjuki orang lain. Mereka telah me-nyampaikan apa yang karenanya mereka diutus oleh Allah, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya. Allah berfirman:
“…maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyam-paikan (amanat Allah) dengan terang. Dan sesungguhnya Kami te-lah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sem-bahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka ber-jalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesu-dahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 35-36).

Dan mempercayainya bahwa sebagian mereka lebih utama dari sebagian yang lain, Allah berfirman:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas seba-gian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meningikannya beberapa derajat. Dan kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.” (Al-Baqarah: 253).

Juga percaya bahwa Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad sebagai dua orang Khalil (kekasih) Allah. Dan Allah telah berbicara langsung dengan Musa Alaihissalam serta telah mengangkat Nabi Idris pada tempat yang tinggi.

Iman kepada mereka semua adalah wajib. Siapa yang menging-kari seorang dari mereka maka ia telah kufur kepada semuanya, dan berarti pula telah kufur kepada Tuhan yang mengutus mereka, yaitu Allah. Allah berfirman:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada-nya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Se-muanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak mem-beda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdo’a), ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah: 285).

Dan Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membedakan antara Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang se-bagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyedia-kan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’: 150-152).

Sebagaimana kita wajib beriman kepada mereka secara umum, nabi yang kita ketahui maupun yang tidak, maka begitu pula kita wajib mengimani secara khusus kepada para rasul yang disebutkan namanya oleh Allah. Telah disebutkan di dalam Al-Qur’an lebih dari 20 nama rasul yaitu: Nuh, Idris, Shalih, Ibrahim, Hud, Luth, Yunus, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Ilyasa’, Dzulkifli, Daud, Zakariya, Sulaiman, Ilyas, Yahya, Isa dan Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam . Dengan meyakini bahwa Allah juga mempunyai rasul-rasul selain mereka. Sebagaimana firmanNya:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebe-lum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan ke-padamu…” (Ghafir: 78).

Inti dari iman kepada mereka adalah taat, patuh dan tunduk kepada mereka dengan mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya, dan mengarungi kehidupan ini berdasarkan manhaj mereka; karena mereka adalah para penyampai wahyu Allah, dan mereka adalah suri teladan bagi umatnya. Allah memelihara mereka dari kesalahan, Allah berfirman kepada NabiNya Shalallaahu alaihi wasalam :
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ Katakanlah, “Taatilah Allah dan RasulNya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 31-32).

Maka taat kepada Allah dan beribadah kepadaNya adalah dengan mengikuti mereka serta berteladan kepada mereka.
Bukanlah termasuk iman kepada mereka jika pengangkatan dan pengagungan mereka melebihi batas kedudukan yang telah Allah berikan kepada mereka. Mereka adalah hamba dari jenis manusia yang Allah pilih dan siapkan untuk memikul risalahNya. Tabiat mereka adalah tabiat manusia. Mereka tidak memiliki hak uluhiyah (Ketuhanan). Mereka tidak mengetahui yang ghaib kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah berfirman, memerintah Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam untuk menyampaikan kepada umatnya:
Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia se-perti kamu, yang diwahyukan kepadaku’…” (Al-Kahfi: 110).
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perben-daharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An’am: 50).

Allah telah mengisahkan ucapan Nabi Nuh kepada kaumnya:
“Dan aku tidak mengatakan kepada kaum (bahwa), ‘Aku mempu-nyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan, ‘Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat’, dan tidak juga aku menga-takan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatan-mu, ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka’. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim.” (Huud: 31).

Maka rasul pertama sampai rasul terakhir semuanya menafikan hak-hak istimewa ketuhanan dari diri mereka. Semuanya menjelaskan bahwa mereka bukanlah malaikat, tidak mengetahui yang ghaib dan tidak memiliki perbendaharaan Allah. Akan tetapi mereka adalah manusia yang diistimewakan oleh Allah dengan menerima wahyu, dan mencapai puncak derajat kemanusian yaitu ubudiyah (penghambaan) yang murni kepada Allah Rabbul ‘Alamin.

V. Beriman Kepada Muhammad Shalallaahu Alaihi Wasalam Sebagai Nabi Dan Rasul

Allah telah menyempurnakan agama ini untuk kita, dan telah menyempurnakan nikmat bagi kita, juga telah ridha Islam sebagai agama kita; melalui tangan Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam Beliau adalah Rasul Allah untuk bangsa jin dan manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan ancaman, yang menyeru kepada Allah dengan seizinNya dan sebagai lampu yang menerangi.

Maka setiap orang yang mengetahui kerasulannya Shalallaahu alaihi wasalam, tetapi tidak mengimaninya, ia berhak menerima siksa Allah seperti orang-orang kafir lainnya. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3).
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40).

Sedangkan hadits yang menunjukkan khatmun nubuwwah (penutup kenabian) maka banyak sekali, di antaranya adalah sabda beliau:

(( إِنَّ لِيْ أَسْمَاءً أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ، وَأَنَا الْمَاحِيْ يَمْحُواللهُ بِيَ اْلكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمَيَّ، وَأَنَا العَاقِبُ وَالعَاقِبُ الَّذِيْ لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ ))

“Sesungguhnya aku mempunyai banyak nama, aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Mahi (penghapus) yang mana Allah menghapus kekufuran dengan diriku, aku adalah Al-Hasyir (yang mengumpulkan) di mana manusia nanti akan dikum-pulkan dihadapanku, aku adalah Al-‘Aqib; Aqib adalah yang sesudahnya tidak ada nabi.” (HR. Muslim IV/1828, lihat juga Al-Bukhari VI/188).

Juga Sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

(( فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ، أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ اْلكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ اْلغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّوْنَ ))

“Aku diistimewakan di atas para nabi dengan enam pekara: aku diberi jawami’ul-kalim (ungkapan yang mencakup makna yang luas), aku dimenangkan dengan rasa ketakutan (di hati musuh-musuhku), untukku dihalalkan ghanimah (rampasan perang), bagiku dijadikan bumi sebagai alat bersuci dan tempat sujud, dan aku diutus kepada makhluk semuanya, dan denganku para nabi ditutup.” (HR. Muslim I/371, lihat Musnad Ahmad II/412).

Dalam beberapa ayat dan hadits di atas terdapat dalil yang nyata dan jelas bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyempurnakan nikmatNya untuk kita dengan menunjukkan kepada jalan yang lurus, dan telah menyempurnakan agama kita sehingga kita tidak perlu lagi kepada yang lainnya, juga tidak kepada nabi lain selain nabi kita Shalallaahu alaihi wasalam , karena Allah telah menjadikannya sebagai penutup para nabi, tidak ada yang halal kecuali yang sudah dihalalkannya, dan tidak ada yang haram melainkan yang sudah diharamkannya, serta tidak ada agama kecuali apa yang telah disyariat-kannya. Beliau adalah utusan Allah kepada makhluk semuanya. Allah berfirman, memerintahkan RasulNya untuk menyampaikannya:
“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” (Al-A’raf: 158).
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (Al-An’am: 19).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (Saba’: 28).

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda sebagaimana dalam hadits di atas,
“Dan aku diutus kepada makhluk secara keseluruhan.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dan bersabda:

(( وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ))

“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya! Tidak seorang pun mendengar tentang aku dari umat (manusia) ini, seorang Yahudi ataupun Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus karenanya, kecuali termasuk para penduduk Neraka.” (HR. Muslim I/134).

Jadi syahadah atau persaksian atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad adalah rukun pertama dari rukun Islam, yang Allah tidak menerima agama selainnya. Sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

(( بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ اْلبَيْتِ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ ))

“Islam itu dibangun di atas lima rukun: Menyaksikan bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat dan haji ke Baitullah serta puasa Ramadhan.” (HR. Muslim I/45, lihat Al-Bukhari I/13).

Untuk menegakkan hujjah bagi segenap manusia sampai hari Kiamat, Allah menjadikan Al-Qur’anul Karim sebagai dalil dan bukti terkuat atas kenabian Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam Ia adalah mu’jizat abadi, Allah menjamin untuk menjaga dan melindunginya dari tangan-tangan jahil dan kotor agar tetap manjadi bukti kebenaran Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan hujjah bagi Allah atas makhlukNya sampai hari Kiamat.

Beriman kepada kitab-kitab Allah

I. Definisi

Secara bahasa, “ كُتُبٌ ” adalah bentuk jamak dari “ كِتَابٌ ”. Sedangkan kitab adalah masdar yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang ditulisi didalamnya. Ia pada awalnya adalah nama shahifah (lembaran) bersama tulisan yang ada di dalamnya.
Sedangkan menurut syariat, “ كُتُبٌ ” adalah kalam Allah yang diwah-yukan kepada rasulNya r agar mereka menyampaikannya kepada manusia dan yang membacanya bernilai ibadah.

II. Beriman Kepada Kitab-Kitab

Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah salah satu rukun iman. Maksudnya yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah  mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia adalah kalam Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang Ia kehendaki dan menurut apa yang Ia ingini.

Allah berfirman:
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu de-ngan perintahNya kepada siapa yang Ia kehendaki di antara ham-ba-hambaNya…” (An-Nahl: 2).
Iman kepadaNya adalah wajib, secara ijmal (global) dalam hal yang di-ijmal-kan dan secara tafshil (rinci) dalam hal yang dirincikan.

Dalil-dalil atas Kewajiban Beriman Kepada Kitab-kitab:

Pertama: Dalil-dalil beriman kepadanya secara umum.
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya.” (Al-Baqarah: 136).

Segi istidlal-nya adalah: Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan orang-orang mukmin agar beriman kepadaNya dan kepada apa yang telah Ia turunkan kepada mereka melalui nabi mereka, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam yaitu Al-Qur’an, dan agar beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada para nabi dari Tuhan mereka tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, karena tunduk kepada Allah serta membenarkan apa yang diberita-kanNya.

2. Firman Allah dalam ayat lainnya:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepa-danya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan),‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan, ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah: 285).
Ayat ini menjelaskan sifat iman Rasul  dan iman para muk-minin serta apa yang diperintahkan kepada mereka berupa iman kepa-da Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para rasul, tanpa membeda-bedakan. Sehingga kufur kepada sebagian berarti kufur kepada mere-ka semuanya.

3. Firman Allah dalam surat An-Nisa’:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepa-da rasulNya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Ba-rangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari Kemudian maka sesungguh-nya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136).

Segi Istidlal-nya adalah Allah  memerintahkan manusia agar beriman kepadaNya, kepada RasulNya, dan kepada kitabNya yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yakni Al-Qur’an, juga kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur’an. Kemudian Allah menya-makan kufur kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul dan Hari Akhir dengan kufur kepadaNya.

4. Sabda Rasullullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hadits Jibril tentang iman:

(( أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُوْلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ ))

“Yaitu hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, Hari Akhir dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari, I/19-20 dan Muslim, II/37).

Maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menjadikan iman kepada kitab-kitab Allah sebagai salah satu rukun iman.

Kedua: Wajib beriman kepada kitab-kitab secara rinci.

Kita wajib mengimani secara rinci kitab-kitab yang sudah dise-butkan namanya oleh Allah, yakni Al-Qur’an dan kitab-kitab yang lain yaitu:
a. Shuhuf Ibrahim dan Musa Alaihissalam . Allah berfirman:
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lem-baran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang se-lalu menyempurnakan janji?” (An-Najm: 36-37).
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam shuhuf (lenbaran-lembaran) yang dahulu, (yaitu) shuhuf Ibrahim dan Musa.” (Al-A’la: 18-19).

b. Taurat, yaitu kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa Alaihissalam . Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di da-lamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)…” (Al-Maidah: 44).
“Allah, tidak ada sembahan yang haq melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al-Qur’an), menjadikan petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” (Ali Imran: 2-4).

c. Zabur, yaitu kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Daud Alaihissalam . Allah berfirman:
“…dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (An-Nisa: 163).

d. Injil, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam . Allah berfirman:
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil se-dang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (Al-Maidah: 46).

Beriman kepada kitab-kitab yang telah Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an adalah wajib. Yakni beriman bahwa masing-masing adalah kitab Allah yang didalamnya terdapat nur dan hidayah yang Dia tu-runkan kepada para rasul yang telah Dia sebutkan. Semuanya, seba-gaimana Al-Qur’an mengajak kepada pengesaan Allah dalam ibadah. Semua kitab itu sama dalam hal ushul sekalipun berlainan dalam syariatnya.

Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu…” (An-Nahl: 36).
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, mela-inkan Kami mewahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada se-sembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah olehmu seka-lian akan Aku.” (Al-Anbiya’: 25).

Al-Qur’an menjelaskan bahwa semua rasul Shalallaahu alaihi wasalam mengajak kaumnya kepada tauhid. Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan kepada kita ucapan mereka:
“…sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq bagimu selain dariNya.” (Al-A’raf: 65, 73, 85).

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

(( الأَنْبِيَآءُ إِخْوَاةٌ لِعَلاَّتٍ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِيْنُهُمْ وَاحِدٌ ))

“Para nabi itu adalah saudara seayah, ibu mereka berlainan, tetapi dien mereka adalah satu.” (HR. Muslim, IV/1837).

Ketiga: Kitab-kitab yang ada pada ahli kitab.

Sesungguhnya apa yang ada di tangan ahli kitab yang mereka nama-kan sebagai kitab Taurat dan Injil dapat dipastikan bahwa ia termasuk hal-hal yang tidak benar penisbatannya kepada para nabi Allah. Maka tidak bisa dikatakan bahwa Taurat yang ada sekarang adalah Taurat yang dahulu diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam . Juga Injil yang ada sekarang bukanlah Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam . Jadi keduanya bukanlah kedua kitab yang kita diperintahkan untuk mengimani-nya secara rinci. Dan tidak benar mengimani sesuatu yang ada dalam kedua-nya sebagai kalam Allah, kecuali yang ada dalam Al-Qur’an lalu dinis-batkan kepada keduanya.

Kedua kitab tersebut telah di-nasakh (dicabut masa berlakunya) dan diganti oleh Al-Qur’an. Allah menyebutkan terjadinya pengu-bahan dan pemalsuan terhadap keduanya di lebih dari satu tempat dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman:
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepada-mu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, sedang mereka me-ngetahui?” (Al-Baqarah: 75).

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuki mere-ka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan di antara orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani’, ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi (mereka) sengaja melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberikan peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari Kiamat. Dan kelak Allah akan mem-berikan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan. Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sem-bunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.” (Al-Maidah: 13-15).

Di antara bentuk pengubahan yang dilakukan ahli kitab adalah penisbatan anak kepada Allah. Mahasuci Allah dari yang demikian, mereka mengatakan:
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putera Allah’. Demiki-an itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (At-Taubah: 30).

Begitu pula penuhanan orang-orang Nasrani terhadap Nabi Isa  serta perkataan mereka bahwa Allah adalah salah satu oknum dari tiga unsur (atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan “trinitas”, pen.).

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesung-guhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata, ‘Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada sesembahan selain dari Allah Yang Mahaesa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah 72-73).

Allah menjelaskan bahwa mereka telah mengubah firmanNya. Mereka melalaikan peringatan-peringatan Allah serta menisbatkan kepadaNya apa yang Allah Mahasuci dan bersih daripadanya. Mereka menuhankan yang lainNya bersamaNya, dan berbagai hal lain yang mereka susupkan ke dalam kitab-kitab mereka. Dengan demikian tidak sah dan tidak benar penisbatan kitab-kitab ini kepada Allah.

Di samping itu ada beberapa hal yang lebih menguatkan ketidak-benaran penisbatan ini kepada Allah –di samping apa yang dinyatakan dalam Al-Qur’an– yaitu antara lain:
  • Sesungguhnya apa yang ada di tangan ahli kitab yang mereka yakini sebagai kitab suci adalah bukan nuskhah (naskah) yang asli, akan tetapi terjemahannya.

  • Bahwa kitab-kitab itu telah dicampuri dengan perkataan para mu-fassir dan para muarrikh (ahli sejarah), juga orang-orang yang me-ngambil kesimpulan hukum dan sejenisnya.

  • Tidak benar penisbatannya kepada rasul, karena tidak mempunyai sanad yang dapat dipercaya (dipertanggungjawabkan). Taurat ditulis sesudah Nabi Musa  berselang beberapa abad. Adapun Injil-injil yang ada, semuanya dinisbatkan kepada pengarang atau penulisnya, lagi pula telah dipilih dari Injil-injil yang bermacam-macam.

  • Bermacam-macamnya naskah serta kontradiksi yang ada di dalam-nya menunjukkan secara yakin atas perubahan dan pemalsuannya.

  • Injil-injil itu berisi aqidah-aqidah yang rusak dalam menggambarkan Sang Pencipta dan menyifatiNya dengan sifat-sifat kekurangan. Begitu pula menyifati para nabi dengan sifat-sifat kotor.
    Karena itu orang Islam wajib meyakini bahwa kitab Perjanjian Lama dan Per-janjian Baru bukanlah kitab yang diturunkan Allah kepada rasulNya, bahkan kitab-kitab itu adalah karangan mereka sendiri. Maka kita tidak membenarkan sesuatu darinya kecuali apa yang dibenarkan oleh Al-Qur’an yang mulia dan As-Sunnah yang disucikan. Dan kita mendustakan apa yang didustakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita tidak berkomentar tentang sesuatu yang tidak dibenarkan atau didustakan oleh Al-Qur’an, karena ia mengandung kemungkinan benar atau dusta. Wallahu a’lam!



Keempat: Al-Qur’anul Karim.

A. Definisi Al-Qur’an

Al-Qur’an menurut bahasa adalah bentuk masdar, seperti al-qira’ah. Anda mengungkapkan:

قَرَأْتُ الكِتَابَ قِرَاءَةً وَقُرْآنًا

Di antara penggunaannya adalah:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Al-Qiyamah: 17).

Qur’anahu maksudnya adalah qira’atahu. Kemudian masdar ini di-nukil dan dijadikan sebagai nama atau sebutan bagi kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam , dan menjadi nama yang baku baginya.
Disebut Al-Qur’an karena ia mencakup inti (buah), kitab-kitab Allah kesemuanya, sebagaimana firman Allah:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an). Untuk men-jelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (An-Nahl: 89).

Sedangkan menurut istilah Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada rasulNya, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dalam bentuk wahyu, yang ditulis di dalam mushhaf dan dihafal di dalam dada, yang dibaca dengan lisan dan didengar oleh telinga, yang dinukil kepada kita secara mutawatir, tanpa ada keraguan, dan membacanya dinilai ibadah.

B. Al-Qur’an Adalah Kalam Allah

Madzhab umat terdahulu dan ulama salaf mengatakan. “Sesung-guhnya Al-Qur’an adalah Kalam Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan lafazh dan makna-nya, diturunkan dan ia bukan makhluk, didengar oleh Jibril Alaihissalam dari-padaNya kemudian ia menyampaikannya kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam , lalu Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam menyampaikannya kepada para sahabatnya. Dialah yang kita baca dengan lisan kita, yang kita tulis dalam mushhaf kita, dan kita hafal dalam dada kita serta kita dengar dengan telinga kita. Karena firman Allah:
“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu memin-ta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sem-pat mendengar firman Allah…”. (At-Taubah: 6).

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu :

(( نَهَى أَنْ يُسَافَرَ بِاْلقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُوِّ ))

“Bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melarang membawa Al-Qur’an ke negeri musuh”. (HR. Al-Bukhari, IV/68 dan Muslim,III/1490-1491).

Juga karena hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

(( زَيِّنُوا ا لْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ))

“Hiasilah olehmu Al-Qur’an itu dengan suara-suaramu!”. (HR. Ahmad, IV/283; dan lihat Shahih Al-Bukhari IX/193).

Di dalam ayat yang mulia tersebut Allah  menyebutkan atau me-namakan apa yang didengar yaitu apa yang dibacakan di hadapan orang-orang musyrik oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sebagai “Kalamullah”.

Dalam hadits pertama baginda Nabi menyebut apa yang ditulis itu adalah Al-Qur’an. Sebagaimana Allah juga telah berfirman tentang Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh).” (Al-Waqi’ah: 77-78).

Kemudian dalam hadits kedua Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menamakan apa yang dibaca sebagai Al-Qur’an.
Adapun dalil-dalil tentang keberadaannya diturunkan oleh Allah dan bukan oleh makhluk adalah banyak sekali, seperti firman Allah:
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hati-mu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. (Asy-Syu’ara’: 193-195).
“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui”. (Al-Mu’min/Ghafir: 1-2).

Dalam ayat-ayat tersebut terdapat nash serta pernyataan yang jelas bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari sisi Allah Subhannahu wa Ta'ala Tidak sah perkataan bahwa Al-Qur’an dan kitab-kitab Allah yang lain itu adalah makhluk, karena kitab-kitab itu adalah Kalam Allah, sedangkan Kalam Allah adalah sifatNya, dan sifatNya bukan makhluk.

Iman kepada segenap apa yang kita paparkan di atas tentang Al-Qur’an adalah wajib. Sebagaimana wajibnya mengimani bahwa ia adalah kitab yang paling diturunkan dari sisi Allah, yang datang untuk membenarkan dan mendukung kebenaran yang telah datang dalam kitab-kitab Allah terdahulu, juga untuk menjelaskan pengubahan dan pemalsuan yang terjadi padanya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan memba-wa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. (Al-Maidah: 48).

Dan ia datang dengan syariat yang universal, umum berlaku untuk setiap zaman dan tempat, menghapus syariat-syariat sebelum-nya, dan ia wajib diikuti oleh setiap orang yang mendengar kabarnya sampai Hari Kiamat. Allah tidak menerima agama dari siapa pun selainnya setelah ia diturunkan, sebagaimana disabdakan oleh baginda Rasul Shalallaahu alaihi wasalam :

(( وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ أَوْ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَ لَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ))

“Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di TanganNya, tidak seorang pun dari umat (manusia) ini yang mendengar tentang aku, seorang Yahudi maupun Nashrani, kemudian ia mati dan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, melainkan ia adalah termasuk penghuni Neraka”. (HR. Muslim, I/134).

Hadits ini sangat jelas pernyataannya bahwa syariat Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam adalah menghapus syariat-syariat sebelumnya.

C. Pemeliharaan Allah terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an yang diturunkan kepada penutup para nabi adalah Kitab Allah yang paling akhir diturunkan kepada manusia. Ia menghapus berlakunya syariat-syariat sebelumnya.

Karena itu ia datang dengan lengkap, mencakup semua yang di-butuhkan manusia dalam kehidupan dunia hingga hari Kiamat, serta membawa mereka ke taman kebahagiaan di akhirat, manakala mereka mengikuti ajaran-ajarannya dan berjalan di atas manhaj-nya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala menjamin memeliharanya agar bisa menjadi hujjah atas umat manusia. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan se-sungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9).

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan ce-laka), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji”. (Fushshilat: 41-42).

Dan kesempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an mengharuskan pemeliharaan tafsirnya, yaitu Sunnah Rasul Shalallaahu alaihi wasalam .

Jadi Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasul kita Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dengan keseluruhan dan rinciannya, tidak dinodai oleh tangan-tangan jahil dan tidak akan tersentuh olehnya, bahkan akan tetap (tak berubah) sebagaimana saat ia diturunkan sampai diangkat di akhir zaman nanti, di dalamnya terdapat penjelasan atas hidayah dan nur, sumber rujukan manusia dalam aqidah dan syariatnya. Dari nash-nashnya mereka ber-istimbat untuk menentukan hukum bagi segala yang mereka temui dalam kehidupannya. Dialah kata akhir (kata pemutus), dia adalah hablullah (tali Allah) yang kuat, dzikrullah yang penuh hikmah dan jalanNya yang lurus. Dengannya hawa nafsu tidak akan tersesat dan dengannya pula lisan tidak akan terpeleset.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah menjelaskan Al-Qur’an ini kepada manusia dengan sabda-sabdanya, perbuatan dan ketetapannya. Allah berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerang-kan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada me-reka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).

D. Menantang dengan Al-Qur’an

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menjadikan banyak bukti kebenaran para nabi sesuai dengan apa yang terkenal di kalangan kaumnya. Oleh karena ter-sohornya sihir dalam masyarakat Mesir pada zaman Fir’aun, maka datanglah Nabi Musa Alaihissalam dengan mukjizat bisa mengubah tongkat men-jadi seekor ular besar dan mengeluarkan dari tangannya sinar putih mengkilau setelah ia memasukkannya ke saku bajunya.

Kemudian datang Nabi Isa Alaihissalam dengan mukjizat menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menyembuhkan kebutaan total dan kulit belang-belang (sopak); karena umatnya sangat mengagungkan ilmu ketabiban. Hal ini sangat mengena dalam membuktikan kebenaran orang yang mendakwakan (dirinya sebagai nabi atau tuhan), karena umat sudah mengetahui bukti atau dalil yang sejenis.

Sedangkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , penutup para nabi, diutus di tengah-tengah umat yang sangat mencurahkan perhatiannya di bidang sastra, maka sangatlah tepat kedatangan beliau dengan membawa kitab suci ini, karena ia merupakan satu jenis dengan keahlian mereka. Al-Qur’an adalah bahasa Arab yang nyata. Lebih dari itu, ia adalah puncak dalam kefasihan dan balaghah, bahkan berada jauh di atas kemampuan mereka semua. Sehingga mereka meyakini ia bukanlah bikinan manusia, karena ia di luar jangkauan mereka. Di samping itu, Al-Qur’an mem-punyai pengaruh luar biasa dalam jiwa mereka ketika mendengarnya. Akan tetapi, karena kebatilan sudah mendarah daging dalam tubuh mereka membuat mereka bersikeras untuk tidak mendengarnya serta melarang Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam membacanya di hadapan orang banyak dalam perkumpulan-perkumpulan dan acara-acara resmi. Seperti yang diceritakan Allah dalam surat Fushshilat:
“Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu men-dengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (me-reka)”. (Fushshilat: 26).

Orang kafir Quraisy telah berbuat salah besar ketika mengatakan, Al-Qur’an itu bukanlah dari Allah. Maka Allah Subhannahu wa Ta'ala menentang mereka agar mendatangkan semisal Al-Qur’an dan Dia menyatakan bahwa mereka tidak akan mampu untuk itu, dan tantangan ini berlaku untuk mereka yang beranggapan seperti itu, baik manusia maupun jin, sam-pai hari Kiamat.

Allah berfirman:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (Al-Isra’: 88).

Kemudian Allah menurunkan lagi (mengurangi) tantangan itu de-ngan menantang mereka agar mendatangkan sepuluh surat saja seperti surat-surat Al-Qur’an, jika memang benar Al-Qur’an itu seperti yang mereka tuduhkan. Allah berfirman:
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu’. Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka datangkan-lah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan pang-gillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang benar-benar orang yang benar”. (Hud: 13).

Kemudian Allah menurunkan kembali tantangannya dan meminta agar mereka mendatangkan satu surat saja jika memang benar bahwa Al-Qur’an itu buatan manusia. Allah berfirman:
“Dan (patutkah) mereka mengatakan, ‘Muhammad membuat-buat-nya’. Katakanlah, ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (Yunus: 38).

Lalu Allah mengulangi tantangan ini bagi siapa saja yang meragukan kebenaran Al-Qur’an agar ia membuat satu surat saja, dan Allah meyakinkan lagi bahwa mereka tidak akan mampu, Allah berfirman:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak dapat membuat(nya), maka peliharalah dirimu dari Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Al-Baqarah: 23-23).

Termasuk dalam tantangan di atas yaitu agar mereka membuat satu surat terpendek, dan surat yang terpendek dalam Al-Qur’an adalah ter-diri dari tiga ayat. Ini benar-benar amat jitu dalam mematahkan tuduhan mereka. Allah berfirman:
“Tidaklah mungkin Al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allah…”. (Yunus: 37).

Itu semua dikarenakan kafasihan dan balaghah Al-Qur’an yang di luar kemampuan makhluk untuk mendatangkan yang semisalnya. Maka dia adalah mukjizat yang kekal abadi, melemahkan orang-orang yang memiliki puncak kefasihan dan balaghah. Lalu bagaimana lagi dengan orang-orang yang berada di bawah kemampuan mereka.

Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat bukti-bukti yang banyak sekali yang sulit dihitung –selain mukjizat tantangan tersebut. Di antaranya, kandungan Al-Qur’an yang berisi kabar-kabar ghaib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang, hukum-hukum yang praktiknya akan mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, menjadikan manu-sia merenungkan alam (semesta) dan segala isinya, juga merenungkan dirinya berikut penciptaannya yang semuanya itu berasal dari Dzat Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui, tidak ada yang samar dariNya. Ia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan di TanganNya-lah segala kebaikan, Dialah Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui.

Beriman kepada Allah

Yaitu keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah adalah wahid (satu), ahad (esa), fard (sendiri), shamad (tempat bergantung), tidak mengambil shahibah (teman wanita atau istri) juga tidak memiliki walad (seorang anak). Dia adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu dalam kerajaanNya. Dialah Al-Khaliq (yang mencipta-kan), Ar-Raziq (Pemberi Rizki), Al-Mu’thi (Pemberi Anugerah), Al-Mani’ (Yang Menahan Pemberian), Al-Muhyi (Yang Menghidupkan), Al-Mumit (Yang Mematikan) dan yang mengatur segala urusan mak-hlukNya.

Dialah yang berhak disembah, bukan yang lain, dengan segala macam ibadah, seperti khudhu’ (tunduk), khusyu’, khasyyah (takut), inabah (taubat), qasd (niat), thalab (memohon), do’a, menyembelih, nadzar dan sebagainya.

Termasuk beriman kepada Allah adalah beriman dengan segala apa yang Dia kabarkan dalam kitab suciNya atau apa yang diceritakan oleh RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam tentang Asma’ dan sifat-sifatNya dan bahwasanya Dia tidak sama dengan MakhlukNya, dan bagiNya kesempurnaan mutlak dalam semua hal tersebut, dengan me-netapkan tanpa tamtsil (menyerupakan) dan dengan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan maknanya) sebagaimana Dia mengabar-kan tentang diriNya dengan firmanNya:

“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan se-gala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki sifat-sifat khusus) demikian itu adalah Allah Rabb kamu, tidak ada sembahan yang haq selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala se-suatu.” (Al-An’am: 101-102).

Demikianlah, dan sungguh ayat-ayat serta hadits-hadits yang me-nunjukkan makna iman dan pencarian iman sangat banyak dan pan-jang untuk ditulis. Wabillahit-taufiq.

Rukun Iman

Rukun-rukun Iman

“ أَرْكَانٌ ” bentuk jama’ dari “ رُكْنُ الشَّيْءِ ، رُكْنٌ ” berarti sisi sesuatu yang paling kuat. Sedang yang dimaksud rukun iman adalah sesuatu yang menjadi sendi tegaknya iman.

Rukun iman ada enam:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada para malaikat
3. Iman kepada kitab-kitab samawiyah
4. Iman kepada para rasul
5. Iman kepada hari Akhir
6. Iman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.

Dalilnya adalah jawaban Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika Jibril bertanya padanya tentang iman:

(( أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِاْلقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ))

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, kepada hari akhir Akhir dan engkau ber-iman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari, I/19,20 dan Muslim , I/37).

Cabang-cabang Iman

الشُّعَبُ adalah bentuk jama’ dari شُعْبَةٌ yang artinya segolongan dan se-kelompok dari sesuatu. Sedangkan شُعَبٌ الإِيْمَانِ adalah cabang-cabang iman yang bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah.

Dalil cabang-cabang iman adalah hadits Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

(( الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ، أَوْبِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ ))

“Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari te-ngah jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, I/63).

Beliau Shalallaahu alaihi wasalam menjelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan du-ri atau batu dari jalan mereka. Lalu, di antara ke dua cabang tersebut terdapat cabang-cabang lain seperti cinta kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, cinta kepada saudara muslim seperti mencintai diri sendiri, jihad dan seba-gainya. Beliau tidak menjelaskan cabang-cabang iman secara keselu-ruhan, maka para ulama berijtihad menetapkannya. Al-Hulaimi, pe-ngarang kitab “Al-Minhaj” menghitungnya ada 77 cabang, sedangkan Al-Hafizh Abu Hatim Ibnu Hibban menghitungnya ada 79 cabang iman.

Sebagian dari cabang-cabang iman itu ada yang berupa rukun dan ushul, yang dapat menghilangkan iman manakala ia ditinggalkan, seperti mengingkari adanya hari Akhir; dan sebagiannya lagi ada yang bersifat furu’, yang apabila meninggalkannya tidak membuat hilang-nya iman, sekalipun tetap menurunkan kadar iman dan membuat fasik, seperti tidak memuliakan tetangga.

Terkadang pada diri seseorang terdapat cabang-cabang iman dan juga cabang-cabang nifak (kemunafikan). Maka dengan cabang-cabang nifak itu ia berhak mendapatkan siksa, tetapi tidak kekal di Neraka, karena di hatinya masih terdapat cabang-cabang iman. Siapa yang seperti ini kondisinya maka ia tidak bisa disebut sebagai mukmin yang mutlak, yang terkait dengan janji-janji tentang Surga, rahmat di Akhirat dan selamat dari siksa. Sementara orang-orang mukmin yang mutlak juga berbeda-beda dalam tingkatannya. Wallahu a’lam!

Minggu, 07 Agustus 2011

Beriman kepada Malaikat

I.Definisi Malaikat

Menurut bahasa “ مَلاَئِكَةٌ ” bentuk jama’ dari “مَلَكٌ ”. Konon ia berasal dari kata “أَلُوْكَةُ ” (risalah), dan ada yang menyatakan dari “ لأَكَ ” (mengutus), dan ada pula yang berpendapat selain dari kedua-nya.

Adapun menurut istilah, ia adalah salah satu jenis makhluk Allah yang Ia ciptakan khusus untuk taat dan beribadah kepadaNya serta mengerjakan semua tugas-tugasNya. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam firmanNya:
 
“Dan kepunyaanNyalah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisiNya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembahNya dan tiada (pula) mereka letih. Me-reka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al-Anbiya’: 19-20).
 

“Dan mereka berkata, ‘Tiada yang Maha Pemurah telah meng-ambil (mempunyai) anak’, Mahasuci Allah. Sebenarnya (malai-kat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tiada mendahuluiNya dengan perkataan dan mereka menger-jakan perintah-perintahNya.” (Al-Anbiya’: 26-27).

II. Kepercayaan Manusia Tentang Malaikat Sebelum Islam

Wujud malaikat diakui dan tidak diperselisihkan oleh umat manusia sejak dahulu kala. Sebagaimana tidak seorang jahiliyah pun diketahui mengingkarinya, meskipun cara penetapannya berbeda-beda antara pengikut para Nabi dengan yang lainnya.

Orang-orang musyrik menyangka para malaikat itu anak-anak perempuan Allah –Subhanallah (Mahasuci Allah)-. Allah telah mem-bantah mereka dan menjelaskan tentang ketidaktahuan mereka dalam firmanNya:

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Az-Zukhruf: 19).

“Atau apakah kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan, ‘Allah beranak’. Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta.” (Ash-Shaffat: 150-152).

III. Beriman Kepada Malaikat

Iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Maksudnya yaitu meyakini secara pasti bahwa Allah  mempunyai para malaikat yang diciptakan dari nur, tidak pernah mendurkahai apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mengerjakan setiap yang Allah titahkan kepada mereka.
Dalil-dalil yang mewajibkan beriman kepada malaikat:
  • Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
    “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepa-danya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya…” (Al-Baqarah: 285).
    Allah menjadikan iman ini sebagai akidah seorang mukmin.
  • Firman Allah pada ayat lainnya:
    “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi…” (Al-Baqarah: 177).

    Allah mewajibkan percaya kepada hal-hal tersebut di atas dan mengkafirkan orang-orang yang mengingkarinya. Allah berfirman:
    “…Dan barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136).
  • Sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika menjawab pertanyaan Jibril tentang iman:
(( أَنْ تُؤْمِنَ بِا للهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَرُسُوْلِهِ وَاْليَوْمِ الأَخِرِ وُتُؤْمِنَ بِاْلقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ))

“Yaitu engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim, I/37 dan Al-Bukhari, I/19-20).

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menjadikan iman itu adalah dengan mempercayai semua yang disebut tadi. Sedangkan iman kepada malaikat adalah se-bagian dari iman tersebut. Keberadaan malaikat ditetapkan berda-sarkan dalil-dalil yang qath’iy (pasti), sehingga mengingkarinya adalah kufur berdasarkan ijma’ umat Islam, karena ingkar kepada mereka berarti menyalahi kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.


VI. Macam-Macam Malaikat Dan Tugasnya

Malaikat adalah hamba Allah yang dimuliakan dan utusan Allah yang dipercaya. Allah menciptakan mereka khusus untuk beribadah kepadaNya. Mereka bukanlah putra-putri Allah dan bukan pula putra-putri selain Allah. Mereka membawa risalah Tuhannya, dan menunai-kan tugas masing-masing di alam ini. Mereka juga bermacam-macam, dan masing-masing mempunyai tugas-tugas khusus. Di antara mereka adalah:
 

1. Malaikat yang ditugasi menyampaikan (membawa) wahyu
Allah kepada para rasulNya . Ia adalah Ar-Ruh Al-Amin atau Jibril. Allah berfirman:
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hati-mu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Asy-Syu’ara: 193-194).

Allah menyifati Jibril dalam tugasnya menyampaikan Al-Qur’an dengan sifat-sifat yang penuh pujian dan sanjungan:
 

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai keku-atan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mem-punyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi diper-caya.” (At-Takwir: 19-21).

2. Malaikat yang diserahi urusan hujan dan pembagiannya menu-rut kehendak Allah. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam beliau bersabda:

(( بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِيْ سَحَابِةٍ: أَسْقِ حَدِيْقَةَ فُلاَنٍ فَتَنَحَّى ذلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِيْ حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِاسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ ... الحَدِيْثُ ))

“Tatkala seorang laki-laki berada di tanah lapang (gurun) dia mendengar suara di awan, ‘Siramilah kebun fulan’, maka men-jauhlah awan tersebut kemudian menumpahkan air di suatu tanah yang berbatu hitam, maka saluran air di situ -dari saluran-saluran yang ada- telah memuat air seluruhnya...” (HR. Muslim, 4/2288).

Ini menunjukkan bahwa curah hujan yang dilakukan malaikat se-suai dengan kehendak Allah Subhannahu wa Ta'ala .

3. Malaikat yang diserahi terompet , yaitu Israfil. Ia meniup-nya sesuai dengan perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan tiga kali tiupan: tiupan faza’ (ketakutan), tiupan sha’aq (kematian) dan tiupan ba’ts (kebang-kitan). Begitulah yang disebut Ibnu Jarir dan mufassir lainnya ketika menafsiri firman Allah:
“…di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan nampak. Dan Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 73).
Dan firman Allah:
“…kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu kami kumpulkan mereka itu semuanya.” (Al-Kahfi: 99).
Dan ayat-ayat lainnya yang ada sebutan, “an-nafkhu fishshur” (meniup terompet).

4. Malaikat yang ditugasi mencabut ruh, yakni malaikat maut dan rekan-rekannya. Tentang tugas malaikat ini Allah berfirman:
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmu-lah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11).
 

“…sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajiban.” (Al-An’am: 61).

5. Para malaikat penjaga Surga. Allah Subhannahu wa Ta'ala mengabarkan mereka ketika menjelaskan perjalanan orang-orang bertakwa dalam firman-Nya:
 

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam Surga berombong-rombong (pula). Sehingga apabila mereka sam-pai ke Surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkata-lah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilim-pahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah Surga ini, sedang kamu kekal didalamnya.” (Az-Zumar:73).

6. Para malaikat penjaga Neraka Jahannam, mereka itu adalah Zabaniyah. Para pemimpinnya ada 19 dan pemukanya adalah Malik. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah ketika menyifati Neraka Saqar:
“Tahukah kamu apakah (Neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak me-ninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pem-bakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada Kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan malaikat.” (Al-Muddatstsir: 27-30).

Dan Allah bercerita tentang penduduk Neraka:
“Mereka berseru, ‘Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja’. Dia menjawab, ‘Kamu akan tetap tinggal (di Neraka ini).” (Az-Zukhruf: 77).

7. Para malaikat yang ditugaskan menjaga seorang hamba dalam segala ihwalnya. Mereka adalah Mu’aqqibat, sebagaimana yang diberitakan Allah dalam firmanNya:
“Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Ar-Ra’d: 10-11).

Dan firman Allah:
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hambaNya, dan diutusNya kepadamu malaikat-malaikat penjaga…” (Al-An’am: 61).

8. Para malaikat yang ditugaskan mengawasi amal seorang hamba, amal yang baik maupun amal yang buruk. Mereka adalah Al-Kiram Al-Katibun (para pencatat yang mulia). Mereka masuk dalam golongan Hafazhah (para penjaga), sebagaimana firman Allah:
 

“Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (Az-Zukhruf: 80).
 

“(Yaitu) ketika dua malaikat mancatat amal perbuatannya, se-orang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 17-18).
 

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Infithar: 10-12).
Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang menyebut tentang mereka banyak sekali.

V. HUBUNGAN MALAIKAT DENGAN MANUSIA

Allah mewakilkan kepada malaikat urusan semua makhluk ter-masuk urusan manusia. Jadi mereka mempunyai hubungan yang erat dengan manusia semenjak ia berupa sperma. Hubungan ini disebutkan Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfan”, beliau berkata, “…Mereka diserahi urusan penciptaan manusia dari satu fase ke fase yang lain, pembentukannya, penjagaannya dalam tiga lapis kegelapan , penulisan rizki, amal, ajal, nasib celaka dan bahagianya, menyertainya dalam segala ihwalnya, penghitungan ucapan dan per-buatannya, penjagaannya dalam hidupnya, pencabutan ruhnya ketika meninggal, pembawa ruhnya ketika meninggal, pembawa ruhnya ketika untuk diperlihatkan kepada Penciptanya.

Merekalah yang ditugasi mengurus adzab dan nikmat dalam alam barzakh dan sesudah kebangkitan. Mereka yang ditugasi membuat alat-alat kenikmatan dan adzab, Mereka yang meneguhkan (iman) bagi hamba yang mukmin dengan izin Allah, yang mengajarkan bagi-nya apa yang bermanfaat, yang berperang membelanya. Merekalah para walinya (penolongnya) di dunia dan di akhirat. Mereka yang menjanjikannya kebaikan dan mengajak kepadanya, melarang keja-hatan serta memperingatkannya. Maka mereka adalah para wali dan anshar-nya, penjaga dan muallim (pengajar)-nya, penasihat yang berdo’a dan beristighfar untuknya, yang selalu bershalawat atasnya selama ia mengajarkan kebaikan untuk manusia. Mereka yang mem-beri kabar gembira dengan karamah Allah ketika tidur, mati dan ketika dibangkitkan. Merekalah yang membuatnya zuhud di dunia dan menjadikannya cinta kepada akhiratnya. Mereka yang mengingatkan ketika ia lupa, yang menggiatkannya ketika ia malas, dan menenang-kannya ketika ia panik. Mereka yang mengupayakan kebaikan dunia dan akhiratnya. Merekalah para utusan Allah dalam mencipta dan mengurusnya. Mereka adalah safir (duta) penghubung antara Allah dan hambaNya. Turun dengan perintah dari sisiNya di seluruh penjuru alam, dan naik kepadaNya dengan perintah (membawa urusan).”

Sedangkan dalil-dalil keterangan di atas adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tentunya amat panjang jika disebutkan, disamping memang dalil-dalil itu terkenal dan masyhur.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Pendidikan Aqidah

Pendidikan aqidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti kepada amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akidah menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan oleh Allah swt. Ayat-ayat yang terawal yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw di Makkah menjurus kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan dan penghayatan akidah yang kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Bilal bin Rabah tidak berganjak imannya walaupun diseksa dan ditindih dengan batu besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak dengan jelas bahawa pendidikan akidah amat penting dalam jiwa setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaran dalam segenap penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali.

2.0 Matlamat dan Objektif Pendidikan Akidah

2.1 Mengakui keesaan Allah swt
Matlamat utama pendidikan akidah Islam ialah mendidik manusia supaya mengakui keesaan dan ketunggalan Allah swt sebagai tuhan yang wajib disembah. Tiada sekutu bagiNya. Ini dijelakan oleh Allah swt dalam firmanNya  :








"Katakanlah (wahai Muhammad) Dia ialah Allah Yang Maha Esa. Allah menjadi tumpuan sekelian makhluk untuk memohon sebarang hajat. Ia tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesiapa yang setara denganNya"
(al-Ikhlas : 1-4)

Ayat di atas mendidik manusia supaya mengaku keesaan dan kekuasaan Allah swt. Ayat ini diturunkan di Makkah di awal perkembangan Islam. Oleh kerana akidah merupakan asas kepada kekuatan dan pembinaan Islam sebagai al-Din maka wahyu-wahyu yang terawal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw menjurus kepada pendidikan Akidah bagi menanam keyakinan yang teguh dalam jiwa manusiatentang keesaan Allah swt.
 

2.2 Melahirkan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah swt .Pendidikan akidah juga penting untuk mendidik manusia supaya patuh dan tunduk kepada kebesaran dan keagongan Allah swt.
 

2.3 Membentuk keperibadian insan
Sebagaimana acuan dapat membentuk dan mencorakkan air kandungannya maka demikianlah akidah dapat membentuk dan mendidik orang yang mengambilnya menepati dengan hakikat dan tabiat kemanusiaan yang tulen dan asli seperti yang dikehendaki oleh penciptanya. Pendidikan akidah dapat membentuk sifat-sifat nalurinya, akal fikirannya, iradahnya dan perasaannya. Ringkasnya pendidikan akidah bermatlamat untuk membentuk nilai akhlak dan keperibadian seseorang insan yang akan mencorakkan suluk amali atau gerak laku amal perbuatan selaras dengan peranan dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah Allah swt di muka bumi ini. Menurut Mohd Sulaiman Yasin (1987), Akidah Islam ialah akidah yang bersumberkan ketuhanan (akidah Rabbaniyyah) yang tetap, syumul, menyeluruh dan fitrah. Tabiat akidah yang demikian ialah akidah yang kukuh dan teguh. Hanya akidah yang teguh sahaja dapat membentuk manusia yang teguh dan kukuh. Kekukuhan dan keteguhan akidah ialah kerana kekukuhan dan keteguhan ciri-ciri yang menjadi kandungan akidah itu, yang merangkumi segala hakikat iaitu hakikat ketuhanan, hakikat alma semesta dan hakikat kemanusiaan serta nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kekukuhan akidah inilah yang akhirnya menjadi sumber kekuatan Islam. Itulah hakikat kekuatan umat Islam, kekuatan jiwa dan rohani serta peribadinya yang menjadi asas kepada kekuatan jasmaninya.  Di dalam sejarah kegemilangan umat Islam yang silam kita mendapati bahawa umat Islam di masa itu telah dibentuk dan dididik oleh akidah yang akhirnya melahirkan kekuatan yang sungguh kental dan luar biasa. Kita lihat sahaja kepada Bilal, bahawa akidah telah memberikan kekuatan kepadanya. Abdul Rahman bin Auf dan Osman bin Affan sanggup membelanjakan hartanya kerana mempertahankan Islam sehingga tiada apa lagi yang dimiliki melainkan Allah swt dan Rasul. Ali bin Abi Talib sanggup mempertaruhkan nyawanya kerana Rasulullah saw dan banyak lagi contoh-contoh yang ditunjukkan oleh para sahabat Rasulullah saw hasil dari pendidikan akidah yang mantap.

2.0 Definisi Akidah
Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab iaitu "aqada yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah iaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara" pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara" iaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.

3.2 Hakikat Iman
Dalam menjelaskan definisi akidah ada disebut perkataan kepercayaan atau keimanan. Ini disebabkan Iman merupakan unsur utama kepada akidah. Iman ialah perkataan Arab yang bererti percaya yang merangkumi ikrar (pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan perbuatan. Ini adalah berdasarkan sebuah hadis yang bermaksud :  "Iman itu ialah mengaku dengan lidah, membenarkan di dalam hati dan beramal dengan anggota".
(al-Hadis)
Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain dari dirinya sendiri dan Allah swt namun dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalan. Iman tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan kejahatan dan maksiat. Sebaliknya iman yang mantap di dada merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dan secucuk dengan kehendak dan tuntutan iman itu sendiri.

Firman Allah swt : 







"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah swt dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu".
(al-Hujurat : 15)
Firman Allah swt :






"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu apabila disebut nama Allah swt maka terasa gerunlah hati mereka dan apabila dibaca kepada mereka ayat-ayat Allah swt, bertambahlah iman mereka dan kepada tuhan sahaja mereka bertawakkal. Mereka mendirikan solat, membelanjakan daripada apa yang kami beri rezki kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya".
(al-Anfal : 2-4)
Perkara yang menjadi asas atau pokok keimanan dalam Islam juga dikenali sebagai rukun-rukun Iman iaitu sebanyak enam perkara :

  • Pertama : Beriman kepada Allah swt.
  • Kedua : Beriman kepada Malaikat.
  • Ketiga : Beriman kepada kitab-kitab.
  • Keempat : Beriman kepada Rasul-Rasul.
  • Kelima : Beriman kepada Hari Kiamat.
  • Keenam : Beriman kepada Qada" dan Qadar.

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya yang bermaksud :
"Iman itu bahawa kamu mempercayai kepada Allah swt, malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari kumudian dan kamu beriman kepada takdir baik dan buruknya".
(Riwayat Muslim)

3.3 Hubungan Iman dan Islam
Iman dengan makna tasdiq juga dinamakan akidah di mana rahsianya tidak diketahui sesiapa melainkan orang berkenaan dan Allah swt. Namun demikian manusia mempunyai sifat-sifat lahiriah yang dapat dilihat melalui tingkah laku manusia sama ada melalui percakapan atau perbuatan. Inilah yang menjadi ukuran keimanan seseorang. Adapun segala yang tersirat di dalam hatinya terserah kepada Allah swt. Iman yang melahirkan penyerahan diri kepada Allah itu juga disebut sebagai Islam. Ini bermaksud seseorang yang beriman hendaklah menyerah diri kepada Allah swt dengan menerima segala hukum dan syariat yang diturunkan Ilahi. Penyerahan dan penerimaan ini berlaku dengan dua perkara iaitu
(i) dengan kepercayaan dan pegangan hati yang dinamakan Iman (akidah) dan
(ii) melalui sifat-sifat lahiriah iaitu melalui perkataan dan perbuatan (amalan) dinamakan Islam. Nabi Muhammad saw telah juga menunjukkan penggunaan kalimah Iman dalam pengertian amal sebagaimana sabdanya yang bermaksud : "Iman terbahagi lebih enam puluh bahagian, yang paling tinggi ialah mengucap kalimah "Lailahaillallah" dan yang paling rendah ialah membunag benda-benda yang boleh menyakitkan orang di jalan".
(Riwayat Muslim)
Oleh yang demikian jelas di sini Iman dan Islam mempunyai hubungan yang rapat dan tidak mungkin dipisahkan. Islam umpama pohon sementara Iman umpama akar sesepohon kayu. Kesuburan dan kekuatan akar pokok tersebut dapat dilihat dengan kesuburan pokok pada daun, ranting dan dahannya. Dalam menjelaskan tentang hubungan Iman dan Islam ini kita petik sebuah hadis sabda Nabi saw kepada rombongan Abdul Qias yang bermaksud:
"Aku menyuruh kamu beriman kepada Allah swt yang Maha Esa. Apakah kamu mengerti apa dia yang dikatakan beriman kepada Allah swt yang Maha Esa ". Iaitu penyaksian bahawa tiada tuhan yang disembah melainkan Allah swt yang Maha Esa, tiada sekutu baginya, mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat dan menunaikan satu perlima daripada harta rampasan perang".
(Muttafaqun "alaih)
Hadis di atas menjelaskan betapa adanya hubungan yang erat di antara iman dan Islam di mana Islam itu menjadi salah satu daripada perinsip Iman dan Iman pula dilahirkan melalui Islam secara amali, dengan iqrar syahadah dan melaksanakan hukum syariat dalam segala amalan. Sekiranya berlaku iqrar syahadah dan menunaikan fardhu sedangkan hatinya tidak yakin atau tidak percaya serta ragu-ragu terhadap hukum hakam Allah swt maka seseorang itu dihukum tidak beriman walaupun masih dinamakan Islam sebagaimana yang berlaku kepada sesetengah orang-orang Badwi di zaman Rasulullah saw.
Firman Allah swt :






"Orang Arab berkata : Kami telah beriman. Katakanlah (wahai Muhammad) : Kamu belum beriman (janganlah berkata demikian, tetapi sementara Iman belum lagi meresap masuk ke dalam hati kamu) berkatalah sahaja : Kami telah Islam". (al-Hujurat : 14)
 

Kesimpulannya Iman itu melambangkan sesuatu yang batin sementara Islam melambangkan sesuatu yang zahir. Oleh itu iman dan Islam tidak boleh dipisahkan. Islam umpama pokok sementara Iman umpama akar. Ibadat solat merupakan batang kepada pokok itu sementara beriman kepada Allah swt merupakan akar tunjangnya di mana ia menjadi teras keimanan seseorang. Pemisahan Iman dan Islam samalah kita memisahkan pokok dari akarnya.

3.4 Konsep Ihsan dan Hubungannya dengan Iman dan Islam
Ihsan bermaksud bekerja dengan baik dan tekun. Dari segi syara" bermaksud mengelokkan perbuatan zahir dengan ibadat dan mengelokkan perbuatan batin dengan ikhlas. Menurut kamus bahasa, Ihsan bermaksud membuat sesuatu yang baik. Al-quran menerangkan dengan meluas ciri-ciri Ihsan dan mereka yang bersifat muhsinin (berbuat kebaikan).
Antaranya firman Allah swt  :






 "Jika kamu berbuat kebaikan, maka faedah kebaikan yang kamu lakukan ialah untuk diri kamu dan jika kamu berbuat kejahatan maka (kesannya yang buruk) berbalik kepada diri kamu juga".
(al-Isra" : 7)

Kedudukan Ihsan adalah tinggi di sisi Islam dalam konteks melengkapkan ciri-ciri keimanan dan keislaman individu dan masyarakat Islam seluruhnya. Al-Quran menerangkan bahawa Ihsan wajib menjadi tabiat manusia. Allah swt telah memberi ni"mat kepada manusia dengan IhsanNya, maka manusia perlu Ihsan dengan ni"mat ini kepada makhluk.
Firman allah swt  :
 

"Dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah swt) sebagaimana Allah swt berbuat baik kepadamu (dengan pemberian ni"matNya yang melimpah-limpah".
(al-Qasas : 77)





Seseorang yang melakukan Ihsan akan merasa tenang yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain dan orang yang menerima Ihsan itu sendiri merasa senang. Kasih sayang kepada pelaku Ihsan akan memberi kebahagiaan jiwa. Mereka yang membuat keburukan tidak akan mendapat ketenangan hidup. Oleh itu Allah swt telah memberi galakan supaya berbuat Ihsan sebagaimana firmanNya yang bermaksud :
"Sesungguhnya Allah swt menyuruh kamu berlaku adil, dan berbuat ihsan (kebaikan), serta memberi bantuan kepada kaum karabat dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar serta zalim".
(al-Nahl : 90)





Al-Quran mengangkat martabat Ihsan dengan begitu tinggi lebih-lebih lagi jika turut disertakan dengan ikhlas kepada Allah swt dan kedua-dua ini dianggap sebagai sifat yang paling tinggi dan mulia yang patut ada pada diri setiap muslim. Kesimpulannya kalau Iman itu umpama akar, Islam umpama pokok maka Ihsan pula umpama buah yang baik. Demikianlah hubungan di antara Iman, Islam dan Ihsan.

3.5 Peringkat-peringkat Iman
Iman itu boleh bertambah dan berkurang. Malah Iman seseorang boleh dihinggapi penyakit. Ada Iman sentiasa bertambah iaitu Iman para Nabi dan Rasul. Ada Iman yang tidak bertambah atau berkurang iaitu Iman para Malaikat. Ada Iman yang kadang-kadang bertambah dan ada ketikanya menurun iaitu Iman kebanyakan orang mukmin. Terdapat juga jenis Iman yang jarang-jarang bertambah tetapi banyak menurun iaitu Iman orang-orang yang fasik lagi jahat.
Iman terbahagi kepada lima peringkat: 

  • Iman Taqlid iaitu Iman ikutan. Orang yang beriman secara taqlid beramal semata-mata mengikut orang lain. Iman jenis ini merbahaya dan terdedah kepada kesesatan.
  • Iman Ilmu iaitu Iman yang berdasarkan semata-mata kepada ilmu dan fikiran semata-mata dan ia tidak terpahat di dalam hati. Iman pada tahap ini juga terdedah kepada bahaya dan penyelewengan.
  • Iman A'yan iaitu Iman yang dapat dihayati sehingga ke lubuk hati. Iman pada tahap ini dimiliki oleh orang-orang soleh. Seseorang yang beriman pada tahap ini amalannya bertolak dari hati yang ikhlas untuk mencari keredhaan Allah swt. Iman kita juga sekurang-kurangnya berada pada tahap ini.
  • Iman Hak iaitu Iman yang hakiki yang terlepas dari godaan nafsu dan syaitan. Iman pada tahap ini dimiliki oleh golongan muqarrabin. Iman Hakikat iaitu Iman peringkat yang paling tinggi yang boleh dicapai oleh manusia. Mereka yang memiliki Iman pada tahap ini hidup semata-mata untuk Allah swt.
3.6 Rukun Iman
Perkara yang menjadi asas atau pokok keimanan dalam Islam dikenali sebagai rukun-rukun Iman ialah enam perkara sebagaimana firman Allah swt :






 "Rasulullah telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan juga orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah swt, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya dan Rasul-RasulNya".
(al-Baqarah : 285)
Sabda Nabi saw yang bermaksud:  "Iman itu ialah kamu beriman kepada Allah swt, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-RasulNya, Hari Akhirat, Qadar baik dan buruk".
(Riwayat Muslim)

3.6.1 Beriman kepada Allah swt
Beriman kepada Allah swt bermaksud mengetahui, percaya dan beri"tikad dengan teguh, perkara-perkara yang wajib, mustahi dan harus bagi Allah swt. Seseorang itu hendaklah beri"tikad secara ijmal dan sungguh-gungguh bahawa Allah swt bersifat dengan sifat-sifat yang sumpurna dan sesuai dengan ketuhananNya. Mustahil Allah swt bersifat dengan sifat-sifat kekurangan dan harus bagi Allah swt melakukan semua perkara atau meninggalkannya.
Iman dan tauhid kepada Allah swt tegak di atas dua asas iaitu
    Tauhid Rububiyyah Tauhid Rububiyyah bermaksud mengimani dan yakin bahawa Allah swt sahaja Tuhan yang mencipta alam ini. Mentauhidkan Allah swt sebagai pencipta, pengurus, pentadbir, pengatur, pemerintah, pendidik, pemelihara dan pengasuh sekelian alam. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menyebut tentang tauhid Uluhiyah ini. Antaranya firman Allah swt:
    أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللّهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ بِالْحقِّ إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ
    "Tidakkah engkau perhatikan bahawa Allah swt menciptakan langit dan bumi dengan sebenarnya". Jika ia mengkehendaki, kamu dimusnahkanNya dan digantiNya dengan makhluk yang baru". (Ibrahim 14 : 19) Firman Allah swt :
    خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَابَّةٍ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ
     "Dia menciptakan beberapa langit tanpa tiang yang kamu lihat, dan Dia mengadakan gunung-ganang di muka bumi supaya jangan ia bergoyang-goyang bersama kamu dan Dia menyebarkan di muka bumi bermacam-macam haiwan. Kami turunkan air hujan dari langit lalu Kami tumbuhkan di muka bumi bermacam-macam tumbuhan yang baik". (Luqman 31:10) Dalam beberapa ayat yang lain Allah swt menyebut bahawa orang-orang kafir juga percaya kepada Rububiyah Allah swt dengan mengaku bahawa Allah swt adalah pencipta langit dan bumi. Firman Allah swt yang bermaksud:
    وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

    "Dan jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir yang menyembah berhala itu) siapa yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab: Allah swt! maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan". (al-Zukhruf : 87) Maksud firman Allah swt lagi:
    وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
     "Dan jika kamu menanyakan kepada mereka : Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya". Tentulah mereka akan menjawab : Allah swt". (al-Ankabut : 63) Tauhid Uluhiyyah Beriman kepada Uluhiyyah Allah swt bermaksud yakin bahawa Allah swt sahaja Tuhan yang patut disembah, dipohon segala doa, dipatuhi, dicintai, ditakuti, dan tawakkal kepadaNya. Seterusnya mnerima segala hukumNya dengan yakin dan redha. Ringkasnya Tauhid Uluhiyyah ini menuntut seseorang meyakini kemutlakan kekuasaan Allah swt yang menjadi tempat tumpuan segala makhluk sama ada dari segi sembahan atau memohon segala doa dan hajat. Keyakinan ini menetapkan bahawa hanya Allah swt sahaja yang berkah menentukan hukum dan peraturan bagi seluruh makhluk di alam ini.  Di antara ayat al-Quran yang membicarakan tentang Uluhiyyah Allah swt adalah seperti berikut. Firman Allah swt :
    إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

    "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan"
    (al-Fatihah : 5)
    Firman Allah swt:
    "Katakanlah (wahai Muhammad) Dialah Allah swt yang Maha Esa. Allah swt tempat meminta (tumpuan). Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang meneyrupaiNya".
    (al-Ikhlas : 1-4)
    Firman Allah swt : "Engkaulah yang memasukkan malam ke dalam siang dan siang ke dalam malam. Engkau juga mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau jugalah yang memberi rezki kepada sesiapa yang dikehendaki dengan tiada hitungan hisab". (Al-Imran : 27)
    تُولِجُ اللَّيْلَ فِي الْنَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الَمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ
    Sesungguhnya kebanyakan manusia sejak dahulu hingga kini mengakui Tauhid Rububiyyah Allah swt dengan mengakui bahawa Allah swt menciptakan langit dan bumi serta sekelian alam ini. Tetapi mereka ingkar secara perkataan dan perbuatan terhadap Uluhiyyah Allah swt seperti beribadat kepada yang lain dari Allah swt serta tidak melaksanakan syariat dan hukum Allah swt dalam kehidupan ini. Keselarasan di antara Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Rububiyyah adalah penting untuk memastikan keimanan yang sejati terhadap Allah swt. Ini adalah kerana Tauhid Rububiyyah adalah adalah merupakan pengakuan bahawa Allah swt adalah sumber cipta. Sementara Tauhid Uluhiyyah ialah suatu pengakuan bahawa Allah swt adalah Tuhan yang wajib disembah dan tempat tumpuan sekelian makhluk.
3.6.2 Beriman kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat bermaksud percaya dan yakin tentang wujudnya makhluk yang digelar malaikat. Jumlah malaikat hanya Allah swt sahaja yang mengetahui. Di antara ciri-ciri malaikat yang disebut di dalam al-Quran dan al-Hadis antaranya ialah:
  • Malaikat merupakan makhluk yang taat kepada Allah swt.
  • Diciptakan dari nur.
  • Tidak mempunyai hawa nafsu.
  • Tidak makan dan minum
  • Memiliki akal yang terbatas untuk melaksanakan perintah Allah swt.
  • Tiada jantina tertentu (tidak lelaki, tidak perempuan, bukan khunsa).
  • Malakikat mempunyai sayap.
  • Memiliki kekuatan dan kepantasan yang luar biasa.
Malaikat merupakan makluk yang tidak dapat dikesani dengan penyelidikan dan pemikiran tentang kewujudannya. Kita tidak boleh menafikan adanya malaikat semata-mata kerana ia tidak dapat dilihat atau dikaji oleh akal manusia. Beriman kepada malaikat adalah termasuk di dalam beriman kepada perkara-perkara ghaib kerana ia tidak dapat disaksikan oleh pancaindera. Hakikatnya amat sukar difahami oleh akal fikiran manusia. Perkhabaran tentang malaikat dan perkara-perkara ghaibini diketahui melalui al-Quran dan al-Hadis. Yakin dan beriman kepada perkara-perkara ghaib seperti syurga, neraka, roh merupakan salah satu daripada ciri-ciri orang bertaqwa kepada Allah swt. Di antara dalil berkenaan dengan malaikat adalah seperti berikut:
Firman Allah swt :
"Dan tidaklah ada yang mengetahui siapa tentera Tuhan itu melaikan Dia".
(al-Mudasir : 31)


وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ
Firman Allah swt :
"Dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan". 
(al-Nahlu : 50)

 

Sabda Rasulullah saw yang bermaksud:
"Dijadikan malaikat daripada cahaya dan dijadikan jin daripada percikan api".
(Riwayat Muslim) 
Firman Allah swt :
"Miraj yang dilalui oleh malaikat-malaikat dan Jibril ke pusat pemerintahanNya (menerima dan menyempurkan tugas) pada satu hari tempohnya lima puluh ribu tahun".
(al-Ma"rij : 4)



Firman Allah swt :
"Segala puji bagi Allah swt yang menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan maalaikat utusan-utusan yang brsayap dua, tiga dan empat". (al-Fath : 1)



Dalam perkembangan kepercayaan manusia terhadap perkara ghaib sejak zaman purbakala telah ada kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Greek di zaman purba mempercayai adanya dewa-dewa. Demikian juga orang Tionghoa dan Mesir. Kadang-kadang kepercayaan kepada dewa-dewa ini dihubungkaitkan dengan bintang-bintang. Contohnya orang Greek (Yunani) mempercayai bintang Mars adalah dewa peperangan. Demikian juga ada yang mempercayai bahawa malaikat itu adalah anak perempuan Tuhan.
Setelah fahaman "ketauhidan" menjadi jelas di dalam Islam, maka tegaklah kepercayaan bahawa persembahan dan pemujaan hanyalah kepada Allah semata-mata. Malaikat-malaikat bukanlah Tuhan dan tiada kuasa. Ia tidak dapat memakbulkan permohonan makhluk. Kita tidak perlu takut kepada malaikat kerana ia tidak dapat berbuat apa-apa melainkan dengan izin Allah swt. Demikianlah halusnya pokok kepercayaan dalam Islam sehingga memuja malaikat adalah termasuk dalam perbuatan syirik yang membatalkan akidah seseorang.
Menurut athar Said bin al-Musayyib bahawa malaikat itu bukan lelaki dan bukan perempuan, mereka tidak makan atau minum dan tidak tidur. Bilangan malaikat amatlah ramai. Tidak diketahui jumlahnya melainkan Allah swt. Setiap orang wajib beriman kepada malaikat secara ijmal kecuaili sepuluh malaikat sahaja diwajibkan kita beriman secara tafsil sebagaimana berikut:

Jibril
Malaikat pertama yang dianggap sebagai penghulu sekelian malaikat. Dia juga bernama Namus, Ruh al-Amin (roh yang diberi keperrcayaan) dan Ruh al-Qudus (roh yang suci). Tugasnya yang utama ialah menerima perintah Allah swt untuk disampaikan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh kerana ruh Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul itu telah mendapat latihan yang cukup dan istimewa sehingga memudahkan hubungannya dengan alam ghaib. Maka dapatlah mereka melihat dan berhubung nyata dengan Malaikat Jibril itu. Nabi Muhammad saw pertama kali berjumpa dengan Jibril ialah semasa menerima wahyu pertama di gua Hira" di atas bukit Nur. Datang berupa seorang lelaki berpakaian serba putih. Demikian juga semasa Isra dan Mi"raj Nabi saw ditemani oleh Jibril alaihissalam.

Jibril pernah merupakan dirinya sebagai seorang sahabat Nabi saw yang muda dan pantas sikapnya iaitu Dahiyah al-Kalbi. Menurut hadis Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Saidina Omar al-Khatab menyatakan bahawa Jibril merupa seorang lelaki datang ke majlis Rasulullah saw mengemukakan pertanyaan berkaitan dengan Iman, Islam dan Ihsan. Semua sahabat Rasulullah saw yang hadir melihatnya.
Di waktu Rasulullah saw menghembuskan nafasnya yang penghabisan Jibril turut hadir di sisi Baginda saw. Sebab Rasulullah saw berkata "Jibril ! Jibril ! Dekatlah kepadaku". (Hamka, 1988).
Kitab-kitab suci dan suuf yang diturunkan kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul iaitu Taurat, Zabur, Injil dan al-Quran diturunkan melalui perantaraan Jibril as. 

Mikail
Malaikat Mikail tugasnya mengurus hal ehwal penghidupan. Mengatur rezki, hujan dan sebagainya. Mengatus perjalanan matahari, bumi, bulan dan cakrawala ini. Peredaran matahari dan bintang menyebabkan berlakunya siang dan malam. Ia menjaga perjalanan alam ini sehingga segala sesuatu itu berjalan dengan lancar di dalam peraturan yang ditentukan. Yang berat turun ke bawah, yang ringan terapung ke atas dan tenaga tarik menarik yang ada semuanya dalam lingkungan tugas Mikail.

Izrail
Izrail terkenal denganpanggilan "Malaikat Maut". Bertugas mencabut nyawa segala makhluk yang bernyawa di alam ini apabila tiba masanya. Izrail tidak akan datang kalau kita belum "dipanggil". Walaupun di kiri kanan kita bergelimpangan mayat-mayat, kita tidak akan mati kalau belum tiba giliran. Dan kalau tiba giliran ke mana kita menyembunyikan diri Izrail tetap menunggu kita. Walaupun kita berada dalam perti besai yang kukuh sekalipun.

Kita tidak tahu bila Izrail akan datang kepada kita. Kita juga tidak boleh cemas kerana dia pasti datang. Kecemasan boleh dihilangkan dengan memenuhi hidup kita melakukan kebajikan dan meninggalkan kemungkaran.
Tugasnya meniup sangkakala (Shur). Tiupan pertama memusnahkan seluruh alam ini melainkan perkara-perkara yang tidak diizinkan Allah swt musnah.

Kesan Akidah Islam
Akidah Islam akan melahirkan seseorang atau masyarakat yang mempunyai kepribadian yang unggul yang akhirnya akan dijelmakan melalui tingkah-laku, percakapan dan gerak-geri hati seseorang atau sesebuah masyarakat. Akidah Islam yang telah meresap ke dalam jiwa dan lubuk hati sesseorang akan menimbulkan kesan-kesan positif di antaranya dapat kita gariskan seperti berikut:

3.7.1 Akidah Islam melahirkan seorang yang yakin kepada Allah swt yang maha esa. Lantaran itu menggerakkan seluruh tingkah-lakunya, percakapannya dan gerak-gerinya untuk mencari keredhaan Allh swt.

3.7.2 Akidah Islam melahirkan Insan Soleh. Insan yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala jenayah dan kemungkaran.

509 3.7.3 Akidah Islam melahirkan Insan yang mempunyai akhlak cemerlang dan terpuji.
Mengikis sifat-sifat yang buruk dan melahirkan manusia yang bertaqwa, tawadhu", ikhlas, redha, amanah dengan segala sifat terpuji yang lain di samping menyingkirkan sifat-sifat yang buruk seperti dengki, sombong, ria", takabur dan seumpamanya yang boleh membawa masalah sosiol dalam masyarakat.

3.7.4 Akidah akan melahirkan seseorang atau sesebuah masyarakat yang optimis dan yakin kepada diri sendiri untuk bekerja bagi mencapai kejayaan di dunia di samping tidak lupa mencari keredhaan Allah swt supaya mendapat kebahagian di akhirat.

3.7.5 Akidah Islam melahirkan Insan dan masyarakat yang teguh pendiriannya, mempunyai perinsip dan tidak mudah terpengaruh dengan persekitaran yang mengancam nilai dan akhlak manusia terutama dengan pelbagai pengarauh hasil kemajuan teknologi maklumat di zaman ini. Ia mampu membeza dan memilih nilai-nilai yang positif dan menolak nilai-nilai yang negatif yang boleh merosakkan keperibadian Insan dan masyarakat.

3.7.6 Akidah Islam yang teguh mampu membawa manusia dan masyarakat maju ke hadapan dalam segala bidang. Sejarah membuktikan masyarakat Arab telah berubah daripada satu masyarakat yang tidak dikenali kepada sebuah masyarakat yang digeruni. Akidah Islam telah mengangkat darjah mereka. Mereka menguasai hampir separuh dari bumi ini. Mereka menguasai pentadbiran dan maju dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan.

3.7.7 Akidah Islam membentuk manusia berlumba-lumba untuk melakukan kebajikan dan mencegah dari kemungkaran. Ini akan melahirkan masyarakat yang harmoni dan aman tenteram. Tiada jenayah atau pencerobohan ke atas sesiapa disebabkan mereka yakin kepada hari pembalasan.

3.7.8 Akidah Islam akan melahirkan manusia yang tidak mudah putus asa atau hilang harapan. Iman di dalam hati akan memberi ketenangan yang luar biasa.

3.7.9 Akidah Islam akhirnya melahirkan manusia yang sanggup berjihad ke jalan Allah swt walaupun harta dan nyawa menjadi taruhan. Bilal bin Rabah sanggup mati kerana mempertahankan akidahnya. Kelaurga Amar bin Yasir demikian juga. Demikianlah para sahabat sanggup mengorbankan harta dan nyawa untuk mempertahan dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Ini adalah kesan dari Akidah Islam yang meressap di dalam jiwa dan lubuk hati mereka.


Akidah Islam yang ada dalam hati umat Islam kini mungkin tidak begitu mantap menyebabkan mereka tidak dapat mencapai kegemilangan sebagaimana umat Islam di zaman Nabi saw dan para Sahabat. Umat Islam pada hari ini begitu rapuh akidahnya. Lantaran itu mereka amat mudah terpengaruh dengan berbagai-bagai unsur negatif. Kemunduran umat Islam kini kerana mereka semakin jauh dari menghayati Akidah Islam yang sebenar. 

Oleh Wan Mohd Hujjatullah Ghazali

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More