Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.(An-Nuur:43)

------------

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?(Al-Anbiyaa:30)

------------

Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.(Thaahaa:53)

------------

Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.( An-Nahl : 79)

------------

Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (Al-Munafiqun:4)

------------

Rabu, 29 Juni 2011

Cerita cinta dalam pernikahan


Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.


Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari,


"Jadi juga kau nikah sama 'buntelan karung hitam' itu ....?!?"


Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut 'buntelan karung hitam'.


"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.


"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.


"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!"


DEGG !!!!


"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran Ismail membuyarkan lamunanku.Segera kuucapkan istighfar dalam hati.


"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi Ismail memberi semangat padaku.


"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai !" Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad nikah.

"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."


Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.


"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya.


Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui.


"Nanti saja dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya.


Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam.


Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.


Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya.


Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.


"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.


Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka,


" ...Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak." (QS An-Nisa:19)


Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.


"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."


Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu.


"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.


"Tidak...De'.


Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil menggenggam erat tangannya.


Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do'a kubentangkan pada Nya.


"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu.Karera itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"


Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya.


Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum sunnah Rasul Nya. "...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)


=========================================


Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini hina maka muliakanlah aku dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih.

Selasa, 28 Juni 2011

Cemburu buta

Alia melihat dengan jelas, gadis itu keluar dari perkarangan rumah Ikwan. Alia juga melihat Ikwan menghantar gadis cantik itu dengan lambaian dan senyuman yang manis. Kata Ikwan, gadis itu adalah kawan kecilnya. Tapi sejak gadis itu datang, Ikwan kian menjauh darinya, Ikwan kerap keluar bersama gadis itu. Hati Alia sakit!


Ikwan jarang menelphone kini. Malah, kalau Alia menelpon ke rumah, selalu saja keluar. Handsetnya juga selalu suruh meninggalkan pesan suara saja, bila ditanya kenapa, jawabnya habis low bat. Apakah mungkin setiap minggu low bat? Kalau ditelpon pun Ikwan menjawab sekenanya saja dengannya. Seolah tidak ada lagi topik yang menarik yg hendak di bicarakan bersama Alia. Alia merasa banyak perubahan sikap Ikwan. Gara-gara kehadiran gadis cantik yang baru pulang dari London itu. Katanya sih kawan lama, au ahhh gelapp………..kekasih lamanya kali............


“Gadis itu kan baru aja datang dari luar negeri, lagi pula mereka memang sahabatan dari kecil. Memang banyak yang akan dibicarakan setelah sekian lama tidak berjumpa.” Alia mau percaya kata-kata Nina yang membujuknya itu. Tapi cemburu dihati Alia masih juga meronta-ronta tak mahu kalah. Jangan sampai ikwan dan gadis itu jadian,,,,,,,,,,,,,,


“Tapi Nina......Ikwan memang udah berubah!!,,, Dia kelihatanya udah melupakan Lia.. keliatannya dia udah malas tuk ketemuan atau sekurang-kurangnya ngobrol dengan Lia, sejak kedatangan kawan baiknya yang cantik itu!.


” Geram Alia bila teringat gadis itu. Sakit hati Alia bila terbayang wajah cantik itu. Memang dia benar-benar cantik! Hidungnya lebih mancung dari Alia, kulitnya putih dan halus. Bukan seperti Alia yang berkulit sawo matang. Matanya besar dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik serta alisnya hitam. Pipinya memerah. Bibirnya mungil dan merah jambu tanpa perlu disapu gincu. Rambutnya panjang lurus sebatas dada. Hati lelaki mana yang tidak tertarik. Alia tahu beda antara dia dan gadis itu bagaikan langit dengan bumi.
Alia memandang ke cermin, pantulan dari cermin memaparkan wajahnya yang masam mencuka. Dia lihat keningnya yang nipis, matanya yang kecil dan bulu mata yang pendek. Kulitnya tidak sehalus dan semulus gadis itu. Bibirnya pucat saja. Kalau tidak memakai gincu langsung tidak menarik. Alia mula benci rupanya! Dia ingin kelihatan cantik, lebih cantik dari gadis itu!


Alia membandingkan juga dirinya dengan gadis itu, dia hanya mendapat Diploma satu sekarang dan sekarang hanya jadi karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta. Sedangkan Gadis itu baru habis belajar di luar negeri dengan gelar Sarjana Hukum. Kalau dapat kerja nanti, pasti gajinya tinggi.


Ach!!!........ Gadis itu seperti permata yang berharga, sedangkan Alia bagai pasir yang bertaburan dijalanan. Alia mengeluh lagi.


“Pasti Ikwan sudah nggak suka bersamaku lagi.. Ikwan sudah bertemu dengan gadis yang sesuai dengan harapannya..” kata Alia sendirian. Alia sadar, Ikwan tidak sebanding dengannya,


Ikwan berkerja sebagai Direktur Eksekutif di perusahaan ibunya. Mereka adalah golongan berada, bukan seperti Alia yang sederhana. Namun hati Alia masih berharap, dia berharap Ikwan akan kembali mesra seperti dulu. Alia ingat perkenalan mereka yang singkat tapi bermakna.


“Paman Haris ada?” itulah kata-kata Ikwan ketika masuk ke ruangan untuk menemui bos Alia, yang merupakan pelanggannya.


“ Emn.. lagi dia keluar sebentar! Ada yang bisa saya bantu?” ujar Alia sambil mengagumi rupa paras lelaki yang berdiri didepannya. Ikwan kocak sekali. Senyumnya menawan dan suaranya lembut.


“Emn.. nggak apa”! Biar aku tunggu aja..”Jawab Ikwan,,


“Oh.. kalau begitu.. silakan tunggu ” Alia menjawab.


Ikwan duduk di meja tunggu yang menghadap meja Alia, Alia sesekali melirik pada Ikwan yang sedang membuka-buka majalah yang tersedia di atas meja itu. Sadar dirinya diperhatikan, Ikwan melemparkan senyuman menawannya. Alia jadi tersipu malu. Tidak lama kemudian bosnya Alia kembali. Ikwan segera masuk ke ruang kerja paman Haris.


Siang harinya, Alia istirahat dan makan di kantin tempatnya bekerja, ketika Alia menunggu pesanannya, tiba-tiba ada yang menyapa.


“Boleh aku gabung dengan kamu?”


Alia agak terkejut melihat Ikwan berdiri di tepi mejanya.


“Semua meja telah penuh..” ujarnya lagi dengan senyumannya yang mencairkan hati Alia.


Alia agak tergagap tetapi mempersilakan Ikwan duduk semeja dengannya. Mereka mulai ngobrol dan memperkenalkan diri masing-masing. Mula-mula obrolan mereka agak kaku, tapi Ikwan pintar melucu. Alia tak henti-hentinya ketawa dibuatnya.


Ikwan menyerahkan kartu namanya pada Alia, dia juga membayar semua makanan yg dipesan.


“Terima kasih, atas makanannya..” ujar Alia sebelum mereka berpisah.


“Telphone aku kalau ada waktu..” kata Ikwan sebelum pergi. Alia menggangguk. Hatinya berbunga-bunga.


Sejak hari itu, mereka sering berhubungan. Ikwan selalu bercerita tentang apa saja dengannya. Ikwan akan mencurahkan apa saja yang ingin diceritakan pada Alia. Lama kelamaan hubungan Alia dengan Ikwan menjadi erat. Benih-benih cinta bersemi. Ikwan mengutarakan cintanya pada saat hari ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. sambil memberikan bunga mawar merah, ke Alia. Alia tidak akan pernah lupa betapa bahagianya hari itu. Bagaikan seorang puteri yang mencapai impiannya.
Tapi itu dulu, sebelum kehadiran gadis cantik yang baru pulang dari luar negeri. Kini Ikwan semakin sibuk. Dia tidak ada waktu untuk menghubungi Alia. Dia sudah ada teman lain untuk bertukar cerita maupun masalah. Kalau dulu, Alialah tempat mengadu bila hatinya resah atau terlalu penat dengan urusan kerja, kini ada gadis lain yang mengambil alih peranan itu. Alia semakin tersisih.

***************


Alia tidak menghubungi Ikwan lagi selepas dia tahu gadis itu keluar dari rumah Ikwan. Alia tidak mau menjadi muka tembok yang tidak tahu malu. Biarlah Ikwan menghubunginya jika lelaki itu masih ingat padanya. Alia ingin menganggap hubungannya dengan Ikwan sudah berakhir.


Dia mengambil keputusan itu setelah memikirkannya masak-masak. Walau pun tak pernah ada kata putus diantara mereka, Alia lebih rela diam daripada mendengar kata perpisahan dari mulut Ikwan. Namun setelah dua minggu, Ikwan tidak juga menghubunginya, Hati Alia semakin remuk redam.


“Hai Lia.. keliatannya muka kamu suntuk belakangan ini..” Sapa Harun, rekan sekerjanya.


“Kamu jangan terlalu sibuk!!”


“Eh! Kok Marah?” kata lelaki itu lagi. Alia tarik muka masam. Dia memang selalu bermuram durja gara-gara hubungannya dengan Ikwan yang dingin itu.


“Aku bukan apa2 Lia.. tapi sebagai kawan, aku kesian juga melihat kamu.. badan kamu makin susut.. kau makan hati ya?”
Harun berkata lagi. Alia menatap muka Harun dengan tajam. Dia tidak suka orang lain mencampuri peribadinya.


“Aku dah lama tahu hubungan kamu dengan Ikwan .. aku rasa lebih baik kau lupakan saja dia .. aku rasa kau pun tahu, Helina sudah balik dari luar negeri.


“Si cantik itu akan bertunangan dengan Ikwan tak lama lagi.”


Dengan lancar Harun menceritakan hal itu. Darah Alia rasanya naik hingga ke ubun-ubun. Dia tidak menyangka hubungan Ikwan dengan gadis cantik itu sudah sampai ke tahap bertunangan.


“Dari mana kamu tahu semua ini Harun?” tanya Alia was-was. Apa karena kamu pembantunya Harun ? Sehingga banyak tahu tentang Ikwan.


“ Aku sepupu Helina, makanya aku tahu banyak tentang dia dan Ikwan..” Sahut Harun dengan yakin. Alia tertunduk, matanya mulai terasa panas. . Sampai hati Ikwan!
Mau bertunangan aja Ikwan nggak ngasih khabar.


“Apakah mereka dijodohkan oleh keluarganya?” tanya Alia lagi. Dia berharap Ikwan berbuat demikian kerana terpaksa. Alia enggan menerima cerita kalau Ikwan benar-benar mengkhianati cintanya!


“Sudahlah Alia.. jangan berharap lagi! Helina itu memang kekasih dia.. sebelum kau bersama Ikwan .”


Hati Alia hancur berkeping-keping mendengar kebenaran cerita itu. Jadi selama ini Ikwan menipunya. Selama ini akulah pihak ketiga. Aku hanya sebagai boneka Ikwan kala Helina tidak ada bersama. Cuma sandaran sementara saja! Pantas Ikwan tidak memperkenalkannya pada Helina, waktu Helina baru pulang dari luar negeri., jadi memang benarlah Helina adalah kekasih lamanya!


Sakit hati Alia terasa semakin dalam. Jantungnya seakan ditikam-tikam dengan pisau yang amat tajam. Dia benci Ikwan. Dia benci Helina! Mengapa mereka melukai hatinya. Mengapa Ikwan mencampakan cinta dihatinya, dengan kejam membunuh cinta itu tanpa belas kasihan!


“Kenapa dia tidak beritahu aku?” kata Alia seolah-olah bertanya pada Ikwan.


“Entahlah Lia.. dia mungkin takut kau akan bertemu dengan Helina dan mengaku sebagai kekasihnya.. pasti hubungannya dengan Helina akan kandas dan hancur..”


Ada benarnya juga kata-kata Harun itu, Ikwan enggan untuk dihubungi. Dia takut rahasia hubungannya dengan Alia terbongkar.


“Harun.. aku mau ijin setengah hari, .. tolong kasih tahu bos”….!, katakan aku lagi nggak enak badan..”,


Harun mengangguk, Dia keliatan amat bersimpati dengan Alia.


Kenudian Alia mengemasi mejanya. Dia ingin pulang ke rumah dan menangis sepuas-puasnya. Dia ingin meraung dan menjerit untuk melepaskan rasa sakit didadanya. .


Alia segera mengambil telphone dan menekan nomor Zarul, adik sepupunya.


“Hai…! .. ada apa kak?”Zarul menjawab pertanyaan Alia


“Kakak lagi nggak sehat hari ini.. kau di mana sekarang?”


“Saya masih di tempat pertemuan.., lagi ada acara .,nanti habis acara pertemuan aku jemput kakak gimana,,,bisa nggak ?”


Alia mengeluh. Dia ingin segera pulang ke rumah. Tapi Zarul lagi sibuk. Adik sepupunya itu baru tamat belajar dan sedang mencari kerja. Dia berasal dari kampung dan dititipkan oleh ibu bapanya untuk tinggal bersama Alia sementara mendapatkan pekerjaan. Zarul akan menghantar dan menjemput Alia dari kerja setiap hari.


“Ngga apalah! Kakak naik bis aja..”


“Eh! jangan kak..! Zarul datang sekarang..”


“Kan kamu ke tempat pertemuan.. nanti terlambat.. sekarang udah jam 10.30 ..”


“Alah.. masih keburu kak!” . Zarul berkeras mau mengantarnya pulang meski pun dia ada acara pertemuan. Alia terpaksa menunggu. Beberapa menit kemudian terdengar suara kendaraan zarul,. Alia segera keluar dan masuk ke dalam mobil.


“Lihat.. udah jam 10.40am.. mana sempat!” ujar Alia sambil menunjukkan jam tangannya pada Zarul.


“Sempat kak.. ngga jauh kok tempatnya!” balas Zarul sambil ketawa kecil.


“Kakak rasa lebih baik Zarul pergi ketempat pertemuan aja, kakak tunggu di mobil.” Alia mengusulkan.


“Emn.. idea yang baik..” Zarul setuju. Mobil segera meluncur ke tempat yang dituju.


“Eh! Tempat pertemuannya di sini?”


Zarul mengangguk. Alia kenal benar dengan rumah itu. Bangunan itu adalah milik ibu Ikwan. Jadi Zarul pergi ke pertemuan di perusahaan milik keluarga Ikwan. Alia benar-benar benci!


“Zarul sebentar aja.. kakak tunggu ya!” Zarul bergeges masuk ke dalam rumah itu.


Alia mendengarkan radio sementara menunggu Zarul masuk ke dalam. Tiba-tiba sebuah mobil masuk, parkir persisi di sebelah mobilnya. Alia keliatannya kenal sama mobil itu, dia menoleh melihat yg ada di dalam mobil. Alia tersentak, ternyata Ikwan!


Lantas Alia berpura-pura tidak melihat Ikwan. Alia menundukkan kepalanya sambil membaca surat khabar yang dibeli Zarul.. Perasaannya bercampur baur. Dia pun tidak tahu mengapa dia mengelak saat bertemuka dengan Ikwan. Biarlah hubungan mereka berlalu bagai angin yang datang menyapanya untuk seketika. Rasanya tak perlu lagi Alia mempermasalahkan dengan Ikwan atau Helina. Alia sadar siapa dirinya.


Namun jauh di lubuk hati Alia, dia merasa cukup pedih dan sengsara. Cinta yang mekar di hatinya itu bukannya mudah hendak dibuang dalam sekejap mata.


Ketika dia asik merenungi nasibnya, tiba-tiba Zarul muncul mengetuk kaca mobil. Di belakangnya ada Ikwan yang memandangnya dengan wajah penuh misteri. Alia segera membuka jendela mobil,


“Kakak.. saya telah diterima bekerja di sini.. dan ini adalah bos aku.. katanya mau ketemu kakak..” kata Zarul sambil tersenyum simpul. Hati Alia menjadi tidak keruan. Dia memandang muka Zarul dan Ikwan silih berganti.


“ Emn.. boleh kita ngobrol berdua..?” Kata Ikwan dengan tenang.


Alia terasa lidahnya kaku,. Dia yakin, Ikwan mau berterus terang dengannya kini. Tak terasa air mata mulai mengalir dipipinya yg memerah, Alia mengangguk perlahan.


Lia segera keluar dari mobil kecilnya dan naik ke mobilnya Ikwan, dan Ikwan membukakan pintu mobilnya..


“Zarul pulang aja dulu ya….!” kata Alia pada Zarul. Zarul agak keheranan karena calon bosnya mengajak kakak sepupunya masuk ke dalam mobilnya pula. Tapi Zarul tidak membantah. Dia masuk ke dalam mobil dan pergi berlalu meninggalkan Alia dan Ikwan.


“Kita pergi ke tempat biasa?” kata Ikwan lembut.


Alia tidak menjawab, Dia hanya terbayang puncak bukit di mana mereka selalu menghabiskan masa bersantai di situ. Dengan membawa sedikit makanan, mereka seolah-olah tinggal di puncak bukit itu. Tapi itu dulu, sebelum kehadiran Helina.


Alia yakin, Ikwan hendak berkata tentang hubungan mereka pada hari ini. Mungkin hari ini adalah hari terakhir mereka mengunjungi puncak bukit yang indah itu.


“Kenapa diam?” Alia menoleh memandang Ikwan.


Ikwan melirik ke Alia. “ Nggak ada apa2…..” Sahut Alia malas.


Sebenarnya dia mau menumpahkan segala yang ada di hatinya. Dia mau tanya tentang Helina dan mengapa Ikwan merahasiakan hubungannya dengan Helina selama ini. Alia ingin sekali mengamuk atas sikap Ikwan yang mempermainkan hati dan perasaannya. Namun, Alia hanya membisu, dia tidak tahu hendak berkata apa kepada Ikwan. Cintanya pada Ikwan begitu dalam dan Alia pasrah jika terpaksa mendengar khabar buruk itu hari ini.


Sepuluh menit kemudian mereka sampai di puncak bukit. Suasana tenang dan dingin. Tapi hati Alia semakin ketakutan. Takut menghadapi kata-kata perpisahan dari Ikwan.


Ikwan kejam karena mempermainkan harga dirinya. Alia tidak mau kelihatan bodoh dengan mengamuk pada Ikwan yang nyata2 menjadikannya sebagai boneka mainan. Itulah tekad Alia. Alia ingin terus bersabar.


“ Kenapa diam saja dari tadi Lia..?” tanya Ikwan lagi. Dia memandang mata Alia seolah-olah mencari-cari sesuatu di situ. Wajah Alia muram. Tidak ada apa-apa di matanya kecuali kedukaan.


“Katakan aja Wan yg mau kamu katakan..” ujar Alia membuang pandangannya dari wajah Ikwan. Ikwan menarik nafas dalam-dalam. Sukar untuk memulai pembicaraan.


“ Wan tahu, dalam hati kecil kamu Wan seolah-olah menjauh khan ?.. maafkan Wan..” Ikwan mulai membuka kata-kata. Alia mengigit bibir menahan sedih di hatinya.


“Kamu udah nggak mau menghubungi Wan lagi.. kamu juga seolah-olah tidak mau tahu tentang Wan lagi..” Sambung Ikwan.


Alia terus membisu, dia enggan berkata apa-apa. Biarlah Ikwan menyampaikan kata-kata terakhirnya sebelum mereka berpisah. Alia bersiap untuk mendengar kebenaran yang pasti menyakitkan itu.

“Biarlah Wan berterus terang dengan kamu…”


Alia segera menundukan kepalanya dan membelakangi Ikwan. Dia tahu apa yang bakal didengarnya. Airmatanya mengalir deras.


Ikwan tidak menyadari airmata membasahipipi Alia karena Alia menyembunyikan wajahnya dengan menghadap hutan yang lebat.


“ Wan..” suara Alia serak. “ Boleh nggak Wan mengatakan yang nggak perlu..” Alia masih membelakangi Ikwan. Suaranya bergetar,


Ikwan mula merasakan ada pergolakan dalam perasaan Alia. Dia ingin sekali menenangkan perasaan Lia.


“ Lia.. Wan tahu Lia marah,, Wan tahu Wan salah.. tapi bisakah kamu memaafkan Wan…?”


Alia segera berpaling ke arah Ikwan. Ikwan terharu melihat airmata Alia yang bercucuran itu. “Sampai hati kamu Wan.. Lia tahu Lia tak sebanding dengan Wan, tapi kenapa Wan tak terus terang dengan Lia? Seharusnya Wan tak perlu minta maaf dengan Lia.. biarkan saja Lia!


“Nikah aja sama kekasih hati Wan itu.. sampai hati Wan permainkan perasaan Lia..” Terlontar semua uneg-uneg yang selama ini ada didalam hati Lia. Wajah Ikwan nampak terkejut.


“Kenapa…? Wan tak menyangka Lia sudah tahu hubungan Wan dengan Helina? Wan fikir Lia tak tahu Wan akan bertunangan dengan Helina ? Cukuplah Wan.. jangan kamu siksa hati Lia lagi..” Ucap Alia sedikit menjerit. Ikwan tercengang memandangnya.


“ Darimana Lia dapat cerita ini… ?”


“ Itu nggak penting.. yang penting kenapa Wan permainkan perasaan Lia.. kenapa Wan mau bersama Lia sedangkan Wan sudah ada Helina..”


“ Lia.. Lia.. Lia! Wan nggak ngerti.. darimana Lia dapat cerita Wan mau tunangan dengan Helina, sumpah Lia! Dia cuma temen baik Wan dari kecil. Dia bukan kekasih Wan!”


Alia mulai diam, tangisnya reda mendengar kata Ikwan. Mereka berpandangan.


“Betul..?” tanya Alia sambil menghapus airmatanya. Ikwan mengangguk.


“Tapi kenapa Wan tak kenalkan Lia dengan dia ?


Kenapa Wan menjauhkan diri sejak dia datang ?” Wan tarik nafas dalam2. Dia melangkah ke mobilnya dan mengambil sesuatu.


“Nah coba liat ini !”


Beberapa foto diberikan kepada Alia. Alia melihat semua foto2 itu. Semuanya gambar dia bersama Zarul, ketika dalam mobil, di jalan raya dan di perkarangan rumah.


“Kenapa ada gambar Lia dan Zarul..?” tanya Alia tidak faham.


“Kerana foto inilah Wan menjauhkan diri dari Lia..


O.. jadi itu masalahnya….


Beberapa minggu kemudian, satu surat dikirimkan pada Wan. Dalam surat itu ada gambar Lia dan Zarul. Katanya Zarul adalah tunangan Lia.. Lia telah ditunangkan oleh keluarga Lia.. Wan pun frustasi waktu mendapat khabar itu..” cerita Ikwan dengan tenang.


“Tapi kenapa Wan nggak tanya sama Lia?” Kata Alia dengan wajah yang lebih cerah. Sisa-sisa airmata sudah mulai hilang.


“Itulah salahnya Wan! Wan mau Lia sendiri yang berterus terang dengan Wan.. tapi Lia sedikitpun nggak mau mengatakan apa-apa”.


Zarul itu tinggal serumah dengan Lia .. tapi sedikit pun Lia nggak ngasihtahu Wan.. tentulah Wan jadi salah faham. Wan geram, marah dan benci pada Lia sebab itu Wan males mau melayani Lia.. males mau angkat telp Lia.. Kalau Wan tahu Zarul itu adik sepupu Lia.. untunglah dia datang ke pertemuan tadi, Wan masih melihat muka Zarul dalam foto itu. Wan memang liat Lia dalam mobil menunggu Zarul tadi, tapi Wan tak menegur Lia karena Wan masih salah faham dengan Lia, tapi selepas pertemuan Zarul tadi, Wan tanya Zarul siapa gadis yang menunggu dalam mobil ? Barulah Wan tahu Zarul adalah adik sepupu Lia.. barulah Wan tahu selama ni Wan salah faham dengan Lia.. Wan mau minta maaf, yaa…?”


Alia termangu mendengar cerita Ikwan. Rupanya ada cerita yang diluar perkiraannya. Siapa pula yang mengambil foto dan mengatakan dia bertunangan dengan Zarul ? .


“Wan nggak tunangan dengan Helina?”


“Sumpah tidak ! Siapa yang mengatakan ini..”


“Harun.. sepupu Helina! Katanya Wan memang kekasih Helina sebelum Wan bersama Lia ... katanya tak lama lagi Wan akan bertunangan dengan Helina.. Lagi pula Wan semakin menjauhkan diri dari Lia sejak Helina datang..” jelas Alia.


Dia mulai ragu dengan kata-kata Harun.


“Pasti Wan menjauhkan diri dari Lia waktu itu, karena Wan marah melihat foto Lia dengan Zarul.. Wan males mau mengenalkan Lia dengan Helina karena waktu itu Wan benar-benar salah sangka pada Lia.. maaf ya sayang..” Ikwan menarik tangan Alia dan memandang tepat ke matanya. Alia mengangguk sambil menarik nafas lega. Dia menyangka Ikwan hendak memutuskan hubungan tapi kini sebaliknya.


“Memang benar Harun itu sepupu Helina, tapi yg aku heran mengapa dia mau menghancurkan hubungan kita ?” Kata Ikwan penuh tanda tanya. Alia angkat bahu. Kini hatinya lega. Gadis cantik itu ternyata tidak ada hubungan apa-apa dengan Ikwan. Rupanya semua masalah ini hanyalah salah faham dan fitnah orang lain. Rasa cemburu pada gadis itu hilang seketika.


“Dan herannya.. siapa pula yang ambil foto Lia ? Sudah jelas ada orang yang mau menghancurkan hubungan kita?” Kata Alia pula.


“Ya! Mungkin Harun juga?” Alia mengganguk tanda setuju dengan kata-kata Ikwan itu. mereka berpandangan. Saling tersenyum. Mereka tidak peduli lagi apa motifasi Harun, yang paling penting kini mereka sudah kembali bersama.


“Maaf ya?” tanya Ikwan sekali lagi.


“Lia juga..” Balas Alia.


“Sia-sia aja Wan membenci Lia.. nggak tahunya cuma salah faham..” Kata Ikwan sambil ketawa kecil. Teringat akan sikapnya beberapa minggu yang lalu. Seluruh isi rumah menjadi tempatnya melepaskan marah. sikapnya menjadi garang tidak tentu pasal. Anak buahnya di perusahaan juga jadi korban kemarahan ikwan. Bos yang dulunya peramah dan mesra menjadi bengis tak menentu. Nggak pernah mau minta maaf. Semuanya gara-gara foto yang diterimanya itu. Helina pun selalu bingung dengan sikapnya berubah. Mau melawak juga susah . Kalau senyum itu juga terpaksa!


“BenarkahWan benci sama Lia?” Tanya Alia .


“ Ya,,, Sangat Benci .. benci tapi rindu..ha ha ha.. kasian betul Wan menanggung rindu nggak ketemu Lia beberapa minggu. Kadang-kadang Wan berharap Lia akan telp atau SMS.. tapi kalo buka handset.. nggak ada apa-apa..” keluh Ikwan tentang perasaannya tentang hubungan mereka.


“Lia juga.. mau telp Wan.. tapi kalo inget Helina mungkin sedang bersama Wan..jadi nggak jadi telp ” Ujar Alia pula, mereka tertawa bersama. Rupanya mereka sama-sama, cemburu buta!


“Zarul mengatakan Lia lagi nggak enak badan,,, Minta di jemput..” tanya Ikwan dengan muka bimbang. Muka Alia memang pucat sejak tadi.


“Emn..” Alia tersenyum,, Kini dia kelihatan berseri-seri.


“Lia sakit apa?” tanya Ikwan lagi sambil menyentuh dahi Alia.


“Sakit hati..” jawabnya dengan menahan senyum.


“Oh.. rupanya,, Sakit hati tapi kenapa bisa senyum ya ?”


. Lia ikut tersenyum . Alia mencubit tangan Ikwan dengan manja. Ikwan tertawa melihat reaksi Alia.


“Lia..” Ikwan memanggil dengan suara romantis. Alia melihat ke arah wajah lelaki yang dicintainya itu. Rindu benar hatinya pada Ikwan. Untunglah semuanya sudah berubah baik.


“Emn..”


“Terus kapan kita nikah …?”


Mata Alia terbelalak. Dia menatap wajah Ikwan minta kepastian yang tiba-tiba itu.


“Kenapa ? , nggak mau ya ?”Tanya Ikwan lagi.


“Wan mau melamar Lia?” jawab Lia sambil mengangguk.


“Mulai saat ini.. kalau ada masalah, kita mesti katakan ! Jangan simpan sendiri dalam hati.. o.k?” bisik Ikwan . Alia mengangguk. Wajahnya penuh dengan senyum bahagia.


Prasangka seperti itu mungkin sering terjadi, tergantung gimana kita menyikapinya. Tapi kalau saling cinta menyintai, kalau saling kasih mengasihi dan kalau saling mempercayai antara satu sama lain, apa pun kejadianya pasti dapat diselesaikan bersama. Dan satu hal yg prinsip, harus kita ingat bahwa semua itu karena Allah,,,,

Sabtu, 25 Juni 2011

Ketegaran Cinta

Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja pasti akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk aku.

Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ‘’don juan'’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi.

Sedangkan aku, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena aku tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, aku hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, Ranu diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya Ranu, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju Kota Bertuah.

Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, di mana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.

Sampai di suatu siang yang terik, di hari Sabtu, kebetulan aku berada di rumah tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan ada tamu dari Pekanbaru. Siapa gerangan? Pikirku ketika itu.

Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku,”Faris….Faris kan!” katanya.

Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkul aku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu aku hanya bisa diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudian aku menjauhkannya dari bahuku sambil masih ragu, bergumam pelan, “Mimi…Mimikah?”
Masyaallah…Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek di beberapa bagian.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.

“Mas Ranu, Ris….Mas Ranu sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu.”
Kata-kata Mimi membuatku terhenyak beberapa saat, namun sebelum aku sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil bercerita, “Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah. Keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri kan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu,” katanya.

Dia bercerita, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “Keluarganya, hanya memberiku uang sekadarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib di sana Ris,” kata-kata Mimi berhenti di sini, disambut isak tangisnya. Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Mimi tertegun… dia memandangku nanar. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, sisa hartanya.
“Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris.”

Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jumat kemarin aku baru mendapat gaji. Sebagai pegawai di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua kuinfaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.

Mimi menatap amplop di tanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut di atas meja sambil berkata, “Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil di dekat rumah saya.

Alhamdulillah, sekarang di tahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi selalu menyapa riang aku, wajah cantiknya kembali bersinar.Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”

Lalu Mimi mengajak aku melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang mungil). Mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, kemudian katanya, “Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris. Sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang.”

Aku pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas di depan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta di hatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar….

Cinta karena Allah


Ketika si tukang besi sedang duduk di rumahnya melepas lelah setelah seharian bekerja, tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Si tukang besi keluar untuk melihatnya, pandangannya menubruk pada sesosok wanita cantik yang tak lain adalah tetangganya.
“Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?” Tutur wanita itu.
Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.

“Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaim? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku semalam,” kata tukang besi itu.
Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati wanita itu.
“Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah,” ujar wanita itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.
Setelah dua hari berlalu, wanita itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan wanita itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, wanita itupun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, wanita itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Wanita itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.
Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. “Sungguh celaka aku ini, seorang wanita mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku dzalim kepadanya,” tutur tukang besi dalam hatinya. “Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu wanita itu lagi selamanya.”
Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah wanita itu. Diketuknya pintu rumah wanita itu. Tak lama berselang, kerekek…terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok wanita yang nampak kuyu. Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu bertanya, “Apa keperluanmu datang ke rumahku?”
“Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah,” jawab si tukang besi itu.
“Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat,” tutur wanita itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.
Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui wanita itu lagi.
“Wanita yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu,” ujar si tukang besi.
Seketika itu, wanita itu sujud syukur kepada Allah.
“Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga.” Terdengar suara lirih dari mulut wanita itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Wanita itupun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.
Demikianlah kisah seorang wanita yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.

Setiap muslimah mestinya dapat mengambil i’tibar (pelajaran berharga) dari berbagai kisah wanita shalihah yang telah diuraikan di muka. Merekalah yang mestinya dijadikan suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya hidup hedonisme dan materialisme


Jumat, 24 Juni 2011

Cinta yg tulus


Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.

Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Jakarta untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.

Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.

Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.

Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.

Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.

Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam

Kamis, 23 Juni 2011

Arti bahasa Arab


Kali ini aku mau posting tentang bahasa yg tiap hari kita lihat disetiap postingan sahabat fillah, ini hanya sebagian kecil tapi mudah"an bermanfaat, mohon koreksi bila ada yg salah,,,,,.


“Assalaamu’alaikum akhi…..”

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakkatuh….”

“ Bagaimana keadaan antum hari ini..?”

“Khoir, alhamdulillah….syukran katsiran….”

“Akhi, antum sudah lama ngaji…?”

“Ana baru-baru aja kog akh, ‘afwan, antum kog tanya seperti itu kepada ana..?”

“Ngak, ana ngak punya maksud buruk kog akh, ana hanya ingin menggembirakan hati ana karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan hidayah-Nya kepada kita….”

Na’am akhi…ana juga bersyukur sekali Allah subhaanahu wa ta’ala masih memberikan kesempatan buat ana untuk meniti jalan Sunnah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam….”

“Ya…subhaanallah…semoga Allah meneguhkan diri antum dan diri ana agar terus diistiqomahkan diatas manhaj Salaf ini….”

Jazakallhu khoiran katsiiran ya akh…..”

Waiyyakum…”


Kita pasti sudah sering sekali mendengar kata-kata atau pembicaraan diatas bahkan tidak kita pungkiri kita sendiri juga pasti sering mengucapkannya. Ya, perwakilan sebagian kecil dari kata-kata diatas ini sering terucap oleh kita yang sudah mengaji karena baiknya perkataan-perkataan ini dibandingkan dulu (sebelum kita mengaji) dimana kita sering mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut seorang muslim. Namun jika kita teliti lebih jauh saat kita sudah terbiasa mengucapkan kata-kata yang baik seperti perkataan yang digarisbawahi diatas, yang kemudian apabila jika ditanya oleh orang lain, “apa artinya…?…apa maknanya…?…apa maksudnya…?…dan yang lain…” Kitapun diam beribu bahasa (karena baru mengaji terus kita belum mengilmui arti dan makna kata-kata itu [semoga Allah memudahkan kita untuk memahaminya] ) karena tidak mengetahui artinya….Duuh, malu juga kalau ngak tahu artinya, padahal sering diucapkan…..

Sengaja ana memaparkan masalah kecil ini untuk kemaslahatan buat kita semua agar lebih menguasai dan memahami arti dan makna-makna kata-kata yang ahsan diatas itu. Diantaranya sedikit arti dari kata-kata baik itu adalah ;

‘Azza wa Jalla : Maha Mulia dan Maha Agung.

Shallallahu ‘alaihi wasallam : Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam sejahtera kepada beliau.

Subhanahu wa Subhanahu wa Ta’ala : Maha suci Allah dan Maha tinggi.

Subhanallah : Maha suci Allah.

Subhanahu wa Ta’ala : Maha Tinggi.

Khoir : baik

Syukran / syukran katsiran : terima kasih / terima kasih banyak

Na’am : benar, Ya

Waiyyakum : untukmu pula

Wallahu a’ lam bishshowab : hanya Allah saja yang lebih tahu kebenarannya

Jazakallahu khoiran katsiran : semoga Allah memberikan balasan kepada Anda yang lebih baik dan lebih banyak

Dan masih banyak lagi kata-kata yang baik yang sering kita ucapkan sehari-harinya. Karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan dari diri ana, semoga Allah menambahkan ilmu dan pemahaman yang shahih kepada kita semuanya dan semoga kita semakin gemar untuk mengucapkan kata-kata yang baik serta mengetahui makna dan artinya.

Wallahu a’lam bishshowab……

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More